elza faiz
Aku tak mengerti,
Apa yang terjadi dengan hatiku,
Awalnya ku ingin tutup pintu untuk setiap kehadiran
Namun sekejab semua buncah
Kehadirannya sungguh melukis bayang
Dengan ritmis, bayang itu terus menari
Memenuhi seluruh sisi sadarku
Lalu menggodaku dalam setiap angan
Sesekali ku coba keluar dari kepungan itu
Tapi ia terlau kuat untukku
Seiring bergulirnya waktu
Kini ku dilanda gelisah yang tak terperi
Bercampur rindu yang mengharu biru
Sejauh mata memandang, hanya prasasti namanya yang bertahta
Aku sendiri tak tahu,
Mengapa bayang itu begitu kuat
Dan menemukan pintu masuk menuju realitasku
Lama ku renungkan akan itu
Tapi tak kunjung ada jawab..
Yang ku tahu, aku sedang terantuk pada cinta
Ya..., aku memang lagi jatuh cinta,
Karena rasa hanya mengenal satu bahasa
Bahasa kejujuran
Layaknya bayi, cintaku kini telah terlahir
Semakin lama ku timang,
ia semakin tumbuh dan membesar
Tapi ku buta apakah ia dilanda gelisah yang sama
Gelisah yang merasuk dalam setiap hela nafas
Gelisah yang mampu menggelapkan semua pilihan
Ingin sekali ku nyatakan rasa itu padanya
Tapi entah siapa yang meminjam nyaliku,
Ingin rasanya ke supermarket
Membeli sepotong keberanian
Lalu ku senandungkan rasa itu padanya
Agar ia mengerti,
Betapa ada cinta yang mungkin tak pernah ia sadari..
Label: Romantis, suara hati
Surat buat Mama tentang Calon Menantunya
Mama yang tercinta,
Akhirnya kutemukan jodohku
Seorang yang ‘bagai’ kau
Sederhana dalam tingkah dan bicara
Serta sangat menyayangiku
Terpupus sudah masa-masa sepiku
Hendaknya berhenti gemetar rusuh
Hatimu yang baik itu
Karna kapal yang berlayar kini telah berlabuh
Dan sandal liar yang biasa menempuh jalan terjal dan berliku
Kini telah berganti dengan sandal rumah yang jinak nan ramah
Burung dara jantan yang dulu kau piara
Kini terbang dan menemu jodohnya
Ia tak kan kembali buat selamanya
Dan itu memang harus mama,
Bagai dulu ibumu melapasmu untuk kawin dengan Bapakku
Dan bagai dulu nenekmu melepas ibumu untuk kawin dengan kakekku
Mama yang tercinta,
Sabtu malam nanti
Ia akan ku bawa kepadamu
Sambutlah ia dengan hangatnya senyummu
Lalu panggillah ia dengan sebutan ‘Anakku’
Mama yang tercinta,
Esok nanti ia akan melahirkan cucu-cucu mu
Ia pasti sehat-sehat dan lucu-lucu
Baringkan nanti ia disampingmu
Lalu ceritakan kisah para leluhurnya yang berani dan perkasa
Agar kelak ia pun tumbuh perkasa
Mama yang tercinta,
Demikian kado ini ku persembahkan
Sembah bhakti ananda
(Disadur dan digubah dari willy)
Label: Romantis
Belajar dari Masa Lalu Presiden Korea Selatan
By: elza faiz
SEBELUM KITA MENGELUH...........
By: mr.president
2. Sebelum kamu mengeluh tentang rasa dari makananmu, pikirkan tentang seseorang yang tidak punya apapun untuk dimakan.
3. Sebelum anda mengeluh tidak punya apa-apa, pikirkan tentang seseorang yang meminta-minta di jalanan.
4. Sebelum kamu mengeluh bahwa kamu buruk, pikirkan tentang seseorang yang berada pada tingkat yang terburuk di dalam hidupnya.
5. Sebelum kamu mengeluh tentang suami atau istrimu, pikirkan tentang seseorang yang memohon kepada Allah untuk diberikan teman hidup.
7. Sebelum kamu mengeluh tentang anak-anakmu, pikirkan tentang seseorang yang sangat ingin
mempunyai anak tetapi dirinya mandul.
8. Sebelum kamu mengeluh tentang rumahmu yang kotor karena pembantumu tidak mengerjakan tugasnya, pikirkan tentang orang-orang yang tinggal dijalanan.
9. Sebelum kamu mengeluh tentang jauhnya kamu telah menyetir, pikirkan tentang seseorang yang menempuh jarak yang sama dengan berjalan.
10. Dan disaat kamu lelah dan mengeluh tentang pekerjaanmu, pikirkan tentang pengangguran,
orang-orang cacat yang berharap mereka mempunyai pekerjaan seperti anda.
11. Sebelum kamu menunjukkan jari dan menyalahkan orang lain, ingatlah bahwa tidak ada seorangpun yang tidak berdosa.
Label: Kontemplasi, Refleksi, Renungan
By: mr.president
Ya berapa malaikat yang sudah kau Jumpai hari ini? Atau hari kemarin? Di dalam perjalananmu menuju tempat kerja? Atau dalam perjalananmu menuju ke rumah kembali? Berapa? Bahkan itu di rumahmu sendiri. Berapa malaikat yang kau jumpai? Tidak ada? Tidak mungkin! Siapa bilang? Mari kita ingat-ingat lagi... Mungkin dia yang membuatmu marah-marah karena membuatmu terbangun di tengah malam buta. Membuatmu terjaga dengan tangisan. Dan kau hanya berkata dengan bersungut-sungut, "Anak siapa sih? Rese amat malem-malem nangis. Berisik!" Padahal mungkin ia membangunkanmu untuk sesuatu hal bermanfaat yang bisa kau lakukan di tengah malam itu.
Tetap semangat menjalani hidup, karena kita tak kan pernah tahu, kejutan apa yang telah Allah persiapkan untuk kita esok.....
Label: Kontemplasi, Refleksi, Renungan
Tentang polemik Amandemen Ulang
Ditulis oleh Elza Faiz
Hasil amandemen konstitusi yang dengan gemilang diselesaikan PAH I MPR kini memunculkan polemik yang meluas. Sebagian menuntut adanya amandemen ulang. Tuntutan tersebut terus menjadi primadona berita yang menghiasi media dan berbagai jamuan ilmiah dibeberapa tempat. Apalagi yang ikut memotori adalah DPD dan beberapa pengamat serta akademisi. Dalam sebuah negara demokrasi tuntutan seperti itu tentu sah-sah saja, meski sikap arif juga harus dikedepankan. Hemat saya, sebuah konstitusi dalam perspektif tertentu bisa jadi memiliki kekurangan. Namun disisi lain, konstitusi itu sebenarnya diperlukan untuk jangka waktu yang relatif lama. Untuk memadukan dua hal berbeda tersebut, beberapa hal akan terlibat. Prinsipnya, kalau kelemahan dalam konstitusi benar-benar mendasar dan keadaan memang sudah cukup matang serta memungkinkan, maka pilihannya memang harus dilakukan amandemen. Namun semuanya tidak bisa dipaksakan, karena justru akan kontra produktif terhadap tujuan awalnya.
Bila sekarang ada sebagian pengamat menguji UUD 1945 hasil amandemen dan kesimpulannya menilai ada beberapa hal yang kurang, itu boleh-boleh saja. Namun yang perlu dikritisi adalah apa tolok ukurnya. Bisa jadi tolok ukur yang mereka pakai melulu akademis yang lebih berorientasi pada kepuasan intelektual. Padahal menurut saya dalam urusan politik, persoalan akademik itu datangnya belakangan. Artinya persoalan akademis itu diperlukan setelah amandemen itu dilakukan untuk memberi pembenaran atau penerangan.
Sebagian juga ada kelompok yang menguji dengan menggunakan tolok ukur world view atau faham. Mereka menginginkan amandemen ulang karena amandemen sebelumnya tidak sesuai dengan world view mereka. Kelompok seperti ini tidak akan berhenti menuntut sebelum fahamnya merasa diakomodir dan dimenangkan.
Menurut saya, munculnya fenomena praktek ketatanegaraan yang menyimpang selama ini bukan karena kesalahan UUD 1945 pasca amandemen, tetapi lebih karena distorsi-distorsi dalam menerapkannya. Distorsi-distorsi itu bila dilihat dari sudut pandang perundangan, disebabkan tiga hal, pertama, UUD 1945 hasil amandemen belum dijabarkan seluruhnya kedalam UU. Kedua, UU yang masih berlaku sekarang dibuat dimasa lampau berdasarkan UUD 1945 naskah asli dan belum disesuaikan dengan UUD 1945 pasca amandemen. Ketiga, UU yang sekarang dibuat tidak sesuai atau bertentangan dengan amanat yang mestinya diperintahkan oleh UUD 1945 pasca amandemen.
Sementara dari sudut pandang person, munculnya tuntutan untuk melakukan amendemen banyak bersumber dari dua hal, pertama karena ketidak mengertian atau kesalah pahaman dalam memaknai, kedua karena tidak suka dengan hasil amandemen. Kelompok yang tidak mengerti memposisikan UUD 1945 pasca amandemen sebagai “terdakwa” atau kambing hitam dari setiap persoalan kenegaraan yang muncul. Sementara kelompok yang tidak suka melihat dari sudut pandang kepentingan subyektifnya.
Distorsi-distorsi itu bisa dilihat, Misalnya mengenai pengangkatan panglima TNI oleh presiden yang menurut UU harus melalui persetujuan DPR. Padahal jelas-jelas dalam Pasal 10 UUD 1945 pasca amandemen menyatakan secara tegas bahwa “Presiden adalah panglima tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Udara dan Angkatan Laut”. Sebagai panglima tertinggi tentunya presiden memiliki otoritas dan tidak ada keharusan untuk meminta persetujuan lembaga lain.
Dalam hal itu seharusnya presiden ambil sikap dengan meminta DPR melakukan revisi UU, bila DPR menolak, presiden dapat juga memerintahkan TNI untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Sebab UU tersebut jelas bertentangan dengan UUD 1945 dan sejarahnya UU tersebut dibuat zaman Habibie berdasarkan UU 1945 naskah asli, disaat posisinya sedang lemah dan TNI lagi banyak dihujat. Kasus ini bila dilihat dari sudut pandang perundangan menunjukkan ada distorsi karena UU yang lama belum disesuaikan, sementara dari sudut pandang person menunjukkan ketidak mengertian pemerintah, sehingga distorsi itu terus muncul.
Contoh distorsi yang lain adalah anggapan mengenai keterbatasan kewenangan DPD dalam membahas UU yang berkaitan dengan daerah, mestinya menurut UUD 1945, DPD berwenang sampai pada tahap akhir pembahasan (Pasal 22D UUD 1945 Ayat 2, tidak membatasi bahwa DPD hanya berwenang pada pembahasan awal). Tapi oleh UU Susduk dibatasi kewenangannya hanya sampai pada Pembahasan Tahap I saja. Bahwa dalam hal lain kedudukan dan wewenang DPD tidak sejajar dengan DPR, karena konsep ideal DPD dalam konteks indonesia memang seperti itu.
Ketidakbecusan UU Susduk dalam menangkap perintah UUD 1945 pasca amandemen juga dapat dilihat dari adanya ketentuan mengenai pimpinan permanen di MPR. Padahal semangat UUD 1945 sebenarnya tidak menghendaki adanya itu. Cukup kalau bersidang, pimpinan sidangnya adalah anggota MPR yang kebetulan ketua DPR dan anggota MPR yang kebetulan ketua DPD. Tapi kerena semangat penyusunan UU Susduk adalah bagi-bagi jabatan, maka distorsi itu muncul.
Para penganjur amandemen juga mengatakan, bahwa amandemen diperlukan karena bandul kekuasaan negara menurut UUD 1945 dianggap bergerak terlalu ekstrim kearah legislative heavy, misalnya dalam hal penyusunan RUU (Pasal 20 UUD 1945) yang dianggap Presiden lemah secara kewenangan, apalagi ada ketentuan bila tidak disahkan dalam 30 hari, maka RUU yang telah disepakati otomatis akan berlaku sebagai UU (Pasal 20 Ayat 5). Padahal kalau dicermati, sesungguhnya antara presiden dan DPR sama-sama punya kewenangan seimbang dalam pembahasan RUU. Buktinya Pasal 20 Ayat 3 menggariskan bila tidak ada persetujuan kedua belah pihak, RUU tidak bisa dilanjutkan pada tahap pembahasan selanjutnya. Bahkan dalam kalkulasi politik, presiden bisa lebih kuat. Presiden memegang 50% untuk sendiri dan DPR 50% tapi untuk bersama-sama. Karena itulah Veto Presiden seperti di Amerika tidak diperlukan, sebab Presiden ikut dalam membahas. Bila penganjur amandemen mendasari pada tuduhan legislative heavy seperti diatas, maka persoalannya adalah kesalah pahaman.
Begitu juga mengenai aturan impeachment/pemakzulan yang masih harus menunggu sidang MPR setelah adanya putusan MK. Banyak yang menilai aturan tersebut sebagai bentuk peletakan supremasi hukum dibawah supremasi politik. Padahal dalam ketentuan itu, keputusan politik yang akan diputuskan oleh MPR harus terlebih dahulu melalui pertimbangan dan keputusan hukum yang kuat dari MK setelah DPR mengajukan permohonan. Dalam skema kasus pemakzulan tersebut, saya sering mengistilahkan bahwa DPR adalah jaksa penuntut umumnya, MK sebagai hakimnya, sementara MPR adalah Jurinya. Kalau skema itu dimasukkan dalam system hukum negera tertentu, itu supremasi hukum juga. Seperti halnya di Amerika, meskipun hakim memutuskan terdakwa bersalah, tapi kalau juri menolak ceritanya bisa menjadi lain.
Namun demikan, perlu juga saya tegaskan bahwa dengan semua penjelasan diatas, tidak berarti saya mengatakan amandemen ulang itu tidak boleh. Sayapun tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa UUD 1945 pasca amandemen itu biar berlaku selama mungkin sampai 100-tahunan misalnya. Semuannya relative, karena pemutlakkan sesungguhnya bertentangan dengan cara berfikir demokratis itu sendiri.
Saya hanya ingin mengatakan, bahwa faktanya, tidak ada persoalan krusial yang mendesak dan harus segara diamandemen. Bilapun ada, hanya menyangkut hal-hal yang tidak terlalu urgen. Misalnya pasal mengenai pengangkatan dan penerimaan duta besar yang sebaiknya tidak perlu ada pertimbangan DPR. Namun karena tidak terlalu urgen dan mendesak saya tidak terlalu ngotot untuk mengajukan amandemen ulang. Sebaiknya fokus pemerintah sekarang adalah menerapkan dengan disiplin yang benar apa yang menjadi kehendak UUD 1945 pasca amandemen dan bekerja keras untuk menyelesaikan problem-problem social seperti pengangguran, kemiskinan dan agenda penting lainnya. Hanya dengan itu konstitusi bisa tegak. Jangan sampai karena tidak bisa menari, lantai yang disalahkan.
By: elza faiz
Bersama luapan asa yang dipanggulnya mesra,
ia berjalan menapaki labirin panjang,
menyusuri malam yang penuh onak
Sesekali terantuk pada duka menghujam cita,
membuncahkan ragu dalam jiwa,
memanggil kerapuhan akan langkah
hanya keyakinan akan cahaya membuatnya tegar menjaga derap
sampai kapan, ia bertahan..?
sampai cahaya merangkul tiba. pekiknya
Belajar dari Rumi
By: elza faiz
Lalu dimana letak kedamaian?, kedamaian akan ada ketika kita mampu ikhlas, bahkan tersenyum ramah terhadap setiap 'tamu' yang datang, biarpun itu berupa bencana sekalipun. Menganggapnya sebagai hukum kehidupan yang biasa terjadi. disitulah engkau akan mendapati taman kedamaian nan indah menawan dan penuh makna.
Label: Kontemplasi, Refleksi, Renungan
By: elza faiz
Salah satu semangat yang muncul dalam pembahasan UU pemilu adalah kuatnya upaya untuk melakukan penyederhanaan sistem kepartaian. Agenda ini mendesak karena sistem multipartai di indonesia selama ini dianggap terlalu ekstrim. Akibatnya, perjalanan pemerintahan menjadi tidak efektif, lamban dan penuh kompromi karena banyaknya kepentingan partai yang bermain.
Fenomena tersebut menggiring banyak kalangan untuk sampai pada konklusi bahwa sistem multi partai ekstrim sesungguhnya tidak compatible dengan penggunaan sistem presidensil. Syamsuddin Haris, misalnya berpendapat bahwa pemakaian bersama-sama antara sistem multi partai dan sistem presidensil tak ubahnya seperti kawin paksa, dari 31 negara yang stabil dengan sistem presidensil pada tahun 1993 tak ada yang menganut sistem multi partai.
Mainwaring kemudian membeberkan fakta empiris, bahwa didunia ini relatif sedikit negara yang berhasil dengan kombinasi sistem presidensil dan sistem multipartai ekstrim. Tercatat hanya Chili negara yang menggunakan kombinasi tersebut dan mampu bertahan selama lebih dari 25 tahun. Selebihnya, sejarah demokrasi presidensil terutama di Amerika Latin seringkali merupakan sejarah eksekutif yang mandeg. Kegagalan ini seringkali berujung pada kegagalan demokrasi.
Sejarah Penyederhanaan Sistem Kepartaian di Indonesia
Sejarah penyederhanaan sistem kepartaian di indonesia sebenarnya bukan hal baru. Pada masa demokrasi liberal, soekarno yang cemas melihat tingginya perpecahan partai politik dan instabilitas kabinet yang jatuh bangun (usia rata-rata dari 12 kabinet dimasa demokrasi liberal tak lebih delapan bulan) membuatnya tergerak untuk mengakhiri era demokrasi liberal. Dengan mengambil momentum kegagalan majelis konstituante menentukan dasar negara, Soekarno akhirnya mewujudkan niatnya dengan mengeluarkan dekrit Presiden 5 juli 1959. Sekaligus memulai era demokrasi terpimpin.
Di era demokrasi terpimpin inilah yang selain ditandai dengan semakin kuatnya cengkeraman kekuasaan soekarno, juga ditandai adanya keinginan kuat kaum militer-sebagai salah satu kekuatan waktu itu - untuk langsung tampil di arena politik. Sejak saat itu pulalah muncul kesadaran untuk mengurangi jumlah partai politik guna mengatasi berbagai gejolak politik. Wujud dari niat itu dikenakan pada pada Masyumi dan PSI yang dibubarkan dibulan Desember 1960 karena tokoh-tokohnya dinilai terlibat pada kegiatan pemerintahan tandingan PRRI (pemerintah revolusioner republik indonesia). Bahkan pada bulan April 1961 semua partai politik, kecuali 9 partai politik,yang juga telah lolos dari saringan presiden, dibubarkan.
Pada masa orde baru, pembenahan institusi politik pada awal kebangkitan orde baru juga tetap didasarkan atas pandangan bahwa jumlah partai yang terlalu banyak tak menjamin adanya stabilitas politik. Mulai dari pemilu 1971 yang diikuti oleh 9 partai politik plus Golongan Karya (Golkar)[ dan berakhir pada kemenangan Golkar, membuat posisi militer dengan golkarnya semakin kuat. Dominannya kekuasaan golkar memungkinkan direalisasikan upaya penyederhanaan partai politik secara melembaga.
Dengan menggunakan instrumen UU Nomor 3 Tahun 1975 Tentang Partai Politik dan Golkar, Soeharto melakukan penggabungan (fusi) parpol. Empa partai politik yang beraspirasi Islam bernaung dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sementara kelima parpol lainnya dileburkan menjadi Partai demokrasi Indonesia (PDI).
Era Reformasi
Seiring dengan adanya keterbukaan dan liberalisasi politik dalam era reformasi, jumlah parpol di indonesia mengalami peningkatan tajam. Cara yang dilakukan untuk menyederhanakan partai politik adalah dengan menerapkan electoral threshold (ET). Berbeda dengan pemaknaan ET dinegara-negara lain yang diartikan sebagai ambang batas minimal tertentu untuk masuk ke parlemen, di Indonesia ET diartikan sebagai ambang batas minimal perolehan kursi untuk mengikuti pemilu berikutnya.
Kebijakan tersebut mulai dikenalkan sejak pemilu 1999 yang tercantum dalam UU No 3 tahun 1999 tentang Pemilu. Kemudian diadopsi lagi oleh UU NO 12 tahun 2003 tentang Pemilu, yang menaikkan ET dari 2 % menjadi 3 %. Batasan itu membuat hanya ada ada enam partai yang lolos ET pada pemilu 1999. Sementara pada pemilu 2004, dengan batas 3 %, mengantarkan hanya ada tujuh partai yang lolos ET untuk mengikuti pemilu 2009.
Sebagai klausula selanjutnya, jika syarat 3 persen tersebut tidak dipenuhi disediakan tiga opsi agar parpol dapat mengikuti pemilu berikutnya. Pertama, bergabung dengan parpol yang lolos ET. Kedua bergabung dengan sesama parpol parpol yang tak lolos ET sehingga mencapai batas 3 persen dan memilih salah satu nama serta lambang partai. Ketiga, mendirikan parpol baru dengan nama dan lambang baru. Dari ketiga opsi tersebut, parpol tampaknya lebih suka memilih opsi yang terakhir. Mereka lebih memilih mengganti nama serta lambang partai dan mengikuti verifikasi ulang.
Dalam UU yang baru mengenai pemilu, diintrodusir klausula baru, selain adanya ET yang besarannya tetap 3% dari perolehan kursi di DPR, juga mulai diberlakukan ketentuan mengenai jumlah suara minimal, yaitu 2,5 % untuk bisa masuk dan mendapatkan kursi di parlemen. Ketentuan tersebut disebut sebagai Parliamentary Threshold (PT)
ET Sebagai Kesalahan ‘Resep’
Sebenarnya, bila yang menjadi problem adalah perlunya penyederhanaan partai untuk menopang stabilitas pemerintahan presidensil, maka resep yang mesti dikenakan adalah bukan dengan memberlakukan ET. Pemberlakukan ET dengan segala opsinya yang tidak tegas hanya menghasilkan fenomena partai yang ‘bersalin baju’ selepas pemilu dan kembali mencoba ‘menjajakan’ diri atau cari peruntungan dalam kontes pemilu berikutnya. Tidak relevannya ET juga didasarkan pada satu argumentasi bahwa sebanyak apapun partai politik, bila hanya ada diluar parlemen, maka posisinya tidak lebih seperti posisi LSM atau Ormas yang mendesakkan kebijakan dari luar. Dengan demikian tak akan banyak mengganggu stabilitas pemerintahan.
Selain tidak relevan, pemberlakuan ET juga tidak akan efektif. Meski secara sekilas bila dilihat dari berkurangnya jumlah parpol peserta pemilu 1999 dan pemilu 2004 yang mengalami penurunan dari 48 parpol menjadi 24 parpol sepertinya efektif. Namun itu tak menjamin akan membuat partai terus berkurang di pemilu berikutnya, sebab sekarangpun partai terus bertumbuh bak cendawan dimusim hujan, baik partai yang benar-benar baru, atau metamorfosa (salin baju) dari partai lama. Bahkan yang telah dinyatakan lolos verifikasi Dephukham sudah melebihi angka 100. Sekarang menunggu verifikasi faktual KPU untuk bisa menjadi peserta pemilu.
Ketidak efektifan ET disandarkan pada beberapa alasan; Pertama; menurut Bawono Kumoro, tidak jelasnya ikatan ideologis partai di indonesia akan mempersulit langkah penyederhanaan partai. Di negara-negara maju, ikatan ideologis biasanya terbagi pada dua kelompok besar, sayap kiri dan sayap kanan. Sayap kanan cenderung prokapitalisme dan sayap kiri lebih berhaluan prososialisme dan demokrasi sosial. Ikatan yang jelas pada ideologi secara tidak langsung turut mendorong kearah penyederhanaan parpol secara alamiah. Di indonesia, ideologi partai dinilai tidak jelas. Pembagian klasik ideologi partai yang didasari nasionalis sekuler dan islam sudah tidak memadai karena sifatnya sangat simbolis. Kesulitan tersebut ditambah lagi dengan kenyataan bahwa parpol di indonesia telah terperangkap kedalam pragmatisme dan kepentingan jangka pendek yang tidak jarang turut mengorbankan nilai-nilai ideologi yang dianutnya, sehingga berujung pada perpecahan internal. Perpecahan internal tersebut juga berperan bagi terjadinya fragmentasi politik secara besar-besaran, yang pada gilirannya hanya menambah jumlah parpol di indonesia.
Kedua, rendahnya keterikatan pemilih terhadap partai-partai yang ada, menyebabkan banyak massa mengambang. Kondisi tersebut ditangkap para politisi sebagai peluang membentuk partai-partai baru guna meraih dukungan massa mengambang tersebut. Bukti rendahnya keterikatan pemilih terhadap parpol ditunjukkan oleh serangkaian survey dari Pusat Pengkajian islam dan Masyarakat (PPIM) dan Lembaga Survey Indonesia yang menunjukkan relatif rendahnya loyalitas masyarakat pemilih terhadap partai politik dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Rata-rata hanya sekitar 30 persen. Selebihnya (sekitar 70 %)bukan pemilih loyal.
secara faktual rendahnya keterikatan pemilih dengan partainya tercermin misalnya saat partai mencalonkan kandidat Presiden atau Pilkada. Banyak pemilih yang berpindah ke kandidat dari partai lain. Dalam pilkada Jabar yang baru saja berlangsung misalnya, kandidat Danny-Iwan yang disokong oleh Golkar hanya dipilih oleh 28 persen pemilih Golkar. Selebihnya terdistribusi ke kandidat lain.
Ketiga, lemahnya proses intitusionalisasi/pelembagaan partai, baik melalui AD/ART maupun UU Parpol membuat tidak adanya acuan dalam membangun disiplin partai. Partai dengan demikian banyak digerakkan oleh improvisasi pemimpin puncaknya yang hanya mengandalkan kharisma dan kekuatan politiknya yang seringkali tidak taat asas. Akibatnya bila terjadi konflik intern seringkali diselesaikan dengan cara-cara ‘adat’ seperti pendepakan. Akhir dari proses konflik itu kemudian berujung pada pendirian partai baru oleh kandidat yang terdepak.
Keempat, menurut Indra Jaya Piliang, dalam kesaksiannya sebagai saksi ahli dalam persidangan di Mahkamah konsitusi, Pemberlakuan ET menurutnya, menimbulkan masalah, yaitu terkait dengan pertanggungjawaban partai-partai yang terkena ET terhadap publik pemilih, kalau mereka harus mengganti namanya ketika mengikuti pemilu berikutnya. Sebagai contoh menarik Partai Bulan Bintang yang berubah menjadi Partai Bintang Bulan. Pertanggungjawababan Partai Bulan Bintang pada publik pemilih tidak dapat digantikan oleh Partai Bintang Bulan karena yang ada di parlemen adalah Partai Bulan Bintang.
Alasan diatas menggambarkan betapa ET adalah salah resep. sebab problem yang selama ini menjadi masalah dalam menciptakan stabilitas pemerintahan bukanlah terletak pada banyaknya jumlah partai yang ada, tetapi banyaknya partai yang ada di parlemen.
Alternatif Solusi
Dengan demikian, yang perlu dilakukan untuk menciptakan stabilitas pemerintahan presidensil adalah bukan dengan ET, tapi cukup dengan penyederhanaan partai yang ada di parlemen. Dalam hal ini setidaknya ada tiga cara, pertama dengan memberlakukan PT, kedua dengan penciutan dapil. Sementara yang ketiga adalah dengan perubahan cara penghitungan suara.
Terkait dengan PT, Menurut Kacung Marijan, sebagai salah satu penganjurnya, mengonsepsikan bahwa dengan diberlakukannya PT, maka hanya partai-partai yang mampu memperoleh prosentase tertentu yang bisa mendudukkan wakil di DPR/D. Kalau diletakkan dalam policy making process, PT itu bisa dikaitkan dengan jumlah komisi di DPR/D. Misalnya jumlah komisi di DPR sekarang ada 11 komisi, maka idealnya PT tersebut setara 11 kursi atau sekitar 2 persen.
Pentingnya dikaitkan dengan jumlah komisi karena para wakil di DPR/D memiliki fungsi pokok untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan para konstituen. Dalam konteks tersebut, sangat sulit bagi partai yang hanya memiliki kursi kurang dari 11 bisa memperjuangkan kebijakan-kebijakan yang menyangkut banyak hal.
Sekiranya PT tersebut diimplementasikan, pemerintahan yang terbangun akan lebih efektif karena jumlah partai yang terlibat terbatas. Disamping itu,wakil partai di DPR/D juga akan lebih efektif memperjuangkan kepentingan konstituen karena terwakili ke dalam komisi-komisi yang berfungsi membuat kebijakan pemerintahan.
Problemnya kemudian, PT dalam UU pemilu hanya berlaku pada tingkat nasional/DPR, dan tidak berlaku di DPRD. Kebijakan tersebut menjadi setengah hati. Padahal di era otonomi daerah, stabilitas pemerintahan didaerah pun perlu diciptakan, sekaligus untuk menopang stabilitas nasional.
Sementara berkenaan dengan penciutan daerah pemilihan, yang menurut Pipit R. Kartawidjaya disebut juga sebagai penerapan ambang batas ‘terselubung’ juga akan membuat hanya sedikit partai yang bisa menembus parlemen. Sebab melalui cara ini, dengan sedikitnya kursi yang ada di satu dapil akan membuat partai butuh lebih banyak suara untuk merebut kursi didaerah pemilihan tersebut.
Didalam UU pemilu yang baru dapil relatif mengalami penciutan, menurut pasal 204 ayat (2) UU Pemilu yang baru ditetapkan yaitu sekurang-kurangnya 3 (tiga) kursi dan sebanyak-banyaknya 10 (sepuluh) kursi. Hal ini mengalami kemajuan dibandingkan pemilu sebelumnya yang menetapkan kursi dalam satu dapil antara 3-12.
Metode terakhir yaitu dengan cara penghitungan suara, menurut Pipit Pipit R. Kartawidjaya, dalam UU No 12 Tahun 2003 yaitu dengan metode kuota varian Hare/Niemeyer/Hamilton-Larges Remainder cenderung menyebabkan parpol terkuat disebuah daerah pemilihan ‘tercuri’ kursinya dan menguntungkan parpol menengah. Disproporsionalitas kerap terjadi saat metode itu diterapkan karena bias yang kerap kali timbul. Di AS, metode itu tealh ditinggalkan seabad silam.
Dalam pemilu 2004, cara penghitungan tersebut telah memunculkan banyak ketidak adilan, parpol besar dirugikan dan keuntungan diperoleh parpol kecil. Akibatnya, parpol yang memperoleh jumlah suara sedikit justru mendapatkan kursi lebih banyak ketimbang parpol yang mendapatkan suara lebih banyak. PAN misalnya dengan suara 7,2 juta mendapat 53 kursi, sementara PKB dengan 12,0 juta suara hanya mendapat 52 kursi. Begitu juga PDS dengan jumlah suara 2,4 juta berhasil mendapat 13 kursi. sedangkan PKPB dengan jumlah suara nyaris sama yaitu 2,3 juta suara hanya mendapat 2 kursi.
Akhirnya, bila tiga alternatif diatas diberlakukan secara konsekwen, maka partai akan mendapat ‘hukuman’ secara langsung. Karenanya tidak akan terjadi lagi parpol ’bersalin baju’ sekedar sebagai siasat untuk kembali berlaga dalam pemilu. Secara perlahan ketentuan itu juga akan mendidik masyarakat untuk cenderung memilih parpol yang selalu mengirimkan wakilnya ke parlemen.
Kesimpulan
Wacana penyederhanaan sistem kepartaian di indonesia harus diletakkan pada tujuan utamanya yaitu menciptakan stabilitas pemerintahan presidensil. Spirit yang harus dijaga karenanya bukan untuk memenuhi ambisi kuasa parpol besar. Metodenya bisa dengan pemberlakuan PT, penciutan daerah pemilihan maupun perubahan cara penghitungan suara. Sementara ET tidak lagi relevan dan karenanya harus ditinjau ulang.
Namun demikian, agenda penyederhanaan partai juga harus dibarengi dengan upaya pendewasaan parpol. Langkah pendewasaan itu misalnya dengan membuat aturan yang menuntut dibukanya keuangan parpol dan sangsi yang tegas bagi parpol yang melakukan penyimpangan kekuasaan. Ttanpa itu, langkah penyederhanaan parpol akan menjadi awal dari hegemoni atau bahkan tirani parpol besar. Pemerintahan yang terbentuk mungkin memang akan lebih stabil, tapi hanya melayani kepentingan kelompoknya sendiri.
Disampaikan dalam Diskusi di PSHK FH UII, Yogyakarta 18 April 2008.
Daftar Pustaka
Arend Lipjhart (penyadur) ” Sistem Pemerintrahan Parlementer dan Sistem Presidensil”.PT Raja Grafindo, Jakarta, Cetakan Pertama 1995
Karim Rusli, “Perjalanan Partai Politik Di Indonesia, Sebuah potret Pasang Surut”.PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,1993.
• Bawono Kumoro, ”Ideologi dan Problem Kepartaian di Indonesia” www. unisosdem.org.
Saiful Munjani, “Pilkada, Kekuatan Partai dan Signifikasi Calon”, Media Indonesia Online, 9 desember 2005.
• Kacung Marijan, “ET,PT dan Stabilitas Pemerintahan”.www. rakyat lampung.com, 26 februari 2008.Putusan MK No 16/PUU-V/2007.
• Sidik Pramono, ”Menghukum Sang Penyalur Aspirasi”. www.kompas.com
• Kompas, 14 Maret 2007
• Kompas, 8 Februari 2008
Di Panggung Elektoral
By: elza faiz
Tumbuh suburnya kekuatan kapitalis domestik di Indonesia pada penghujung dekade 80-an hanya dapat dinarasikan dengan menghubungkannya pada peran negara yang sangat dominan dan sentralistik. Tidak saja dengan monopoli langsung atas akses sumber daya ekonomi tetapi juga posisinya yang sangat menentukan dalam pengaturan dan pengalokasiannya. Namun demikian, adalah keliru untuk membayangkan bahwa sistem pengaturan dan pengalokasian akses sumber daya ekonomi itu dilakukan melalui cara cara fair sebagaimana yang terjadi di dalam sistem ekonomi kapitalis liberal melainkan melalui jaringan patronase yang berpusat pada soeharto. Jaringan patronase ini sendiri melibatkan para anggota keluarga Soeharto, klik politik petinggi negara, dan segelintir kapitalis Tionghoa.
Setelah mendapat rezeki nomplok dari minyak tersebut, Soeharto kemudian membentuk “Tim Sepuluh” dibawah kekuasaan Sekretariat Negara ( berkait langsung diatasnya adalah Golkar) yang diberi kuasa untuk menguasai semua proyek diatas 500 juta, serta menguasai pengambil alihan tanah untuk proyek-proyek baru serta memberi izin bagi proyek dan mengontrol proyek. Pada bulan Juli 1980 presiden mengeluarkan keputusan untuk memperluas kekuasaan “Tim Sepuluh” untuk menguasai semua perusahaan negara, dengan Pertamina sebagai hadiah terbesar”. Sementara untuk strategi politik rezim, kelebihan dana dari minyak, digunakan oleh Orde Baru untuk membiayai kekerasan disegala bidang.
Akan tetapi dalam perkembangannya, sistem kapitalisme negara terpecah juga oleh krisis anjloknya harga minyak pada tahun 1981-1982 dan sekali lagi pada tahun 1986. Krisis anjloknya harga minyak secara dramatis tersebut menggeser pilihan-pilihan bagi para pemain utama. Hal ini menjadi lampu kuning bagi muculnya kebutuhan untuk memobilisasi sumber-sumber dana investasi baru dari sektor swasta dengan membangun industri-industri ekspor dan membangun basis-basis pemasukan baru. bahkan dalam perkembangan selanjutnya krisis ini juga mengakibatkan lembaga donor internasional melakukan desakan kepada pemerintah untuk menjalankan paket deregulasi ekonomi.
Namun, deregulasi yang awalnya dimaksudkan untuk memupus praktik-praktik monopoli negara atas berbagai sumber daya ekonomi dalam rangka menumbuhkan sebuah perekonomian yang lebih berorientasi kepada pasar liberal gagal diwujudkan. Hal ini tidak lain karena para penikmat deregulasi adalah kaum oligarki. Bukannya meliberalkan pasar, yang terjadi justru melicinkan jalan bagi pemindahan monopoli negara atas akses sumberdaya ke tangan para oligarki. Pada titik inilah ‘penjarahan sistematis’ yang dilakukan kelompok oligarki atas berbagai akses sumberdaya produktif yang sebelumnya berada dibawah kendali negara dimulai.
Lebih dari sekedar menguasai akses ke berbagai sumberdaya ekonomi, kaum oligarki (dalam bahasa Vedi R Hadiz, kelompok ini disebut sebagai predator) juga berupaya melakukan penguasaan terhadap lembaga-lembaga politik sebagai instrumen untuk menjamin langgengnya dominasi mereka. Karena itu, sejak dekade 1980-an, Golkar yang sebelumnya partainya negara segera beralih sebagai kendaraan politik kaum oligarki. Mengingat bahwa partai ini kerap-kali memenangkan pemilu, maka tidaklah mengherankan kalau kaum oligarki ini juga memperoleh posisi di parlemen. Kondisi inilah yang terus bertahan selama sekitar satu dekade hingga akhirnya mengantarkan Indonesia terhempas badai krisis financial ditahun 1997 dan menyapu struktur bangunan ekonomi politik orde baru ditahun 1998 yang ditandai dengan terjungkalnya salah seorang diktator paling kuat didunia Soeharto dari kursi kekuasaannya.
Bersamaan dengan itulah, sejumlah analis baik dalam maupun luar negeri mulai melontarkan gagasan teori bahwa perjalanan Indonesia pasca soeharto pasca 1998 akan menempuh trayek mulus untuk mencapai format politik demokratis dan ekonomi liberal. Namun kenyataannya, meskipun struktur ekonomi-politik orde baru runtuh berkeping-keping, perubahan-perubahan yang terjadi hanyalah pada konteks, dan oleh karena itu, ia tidak mengubah basis material yang sesungguhnya. Sebab proses dominasi elit orde baru beserta kalangan oligarki tidak saja terhadap politik dan ekonomi, tetapi juga terhadap civil society pada dasarnya tetap berlangsung. Perbedaannya dengan masa lalu terletak pada cara melanggengkan dominasinya. Jika pada masa lalu dominasi dilakukan dengan menggunakan instrumen otoritas sentral negara, maka pada era pasca Soeharto dominasi dilakukan melalui berbagai partai politik, pemilu, parlemen, dan desentralisasi.
kuatnya dominasi kekuasaan kaum oligarki itu tergambar juga dari pengakuan Amin Rais, yang menyatakan bahwa ” Saya percaya bahwa proses reformasi total akan lebih mudah setelah soeharto turun dari kekuasaan. Saya mengasumsikan bahwa dia adalah hambatan terbesar reformasi dan, setelah dia disingkirkan, saya percaya kami akan bisa mendesak dilakukannya reformasi dengan lebih mudah. Saya salah…..Sekarang saya sadar, piramida yang ditinggalkan Soeharto masih berdiri”
Bersandar dari kajian Verdi di atas, maka pilpres dan pilkada akan menjadi salah satu sasaran strategis bagi kaum oligarki kapitalis lama yang dibesarkan Orde Baru untuk mengkonsolidasikan kekuatan politik dan monopoli ekonominya dengan cara merebut jabatan puncak di eksekutif. Apalagi dengan kebijakan yang hanya mengakui parpol sebagai satu-satunya pemegang kunci pencalonan, maka dengan kekuatan finansial yang ia punya akan memudahkan kaum oligarki ini untuk memonopoli kontestasi pencalonan dengan membeli tiket pada parpol. dan pada akhirnya mereka jugalah yang akan tampil sebagai penguasa-penguasa terdepan di negeri ini. kalau hal ini terjadi, tentu jalan reformasi akan semakin terjal dan berliku sehingga mimpi untuk menciptakan demokrasi yang terkonsolidasi menjadi makin jauh panggang dari api.
Karena itu, untuk menghambat laju mereka dalam membangun kerajaan predatornya, sekaligus untuk melempangkan jalan reformasi, maka pilpres dan pilkada harus membuka pintu seluas-luasnya untuk kontestasi calon, termasuk pintu bagi calon independen, agar rakyat dari berbagai latar belakang dapat berkontestasi secara fair, adil dan demokratis. Dengan demikian, terbuka peluang lahirnya ‘nahkoda-nahkoda’ di daerah yang mampu menyelami bahasa dan kebutuhan rakyatnya.
(sekedar tambahan data, menurut catatan litbang kompas, selama Juni 2005, dari 125 kabupaten/kota yang melaksanakan hajatan politik lokal ini, setidaknya terdapat 80 daerah yang calonnya dari kalangan pengusaha (tidak menutup kemungkinan, beberapa pengusaha yang tampil dipilkada ini adalah kelompok oligarki lama. red). Jumlah ini merupakan peningkatan besar bila dibandingkan dengan periode sebelumnya yang hanya lima persen dari 415 kabupaten/kota di indonesia. Dari beberapa parpol yang berlaga, PDIP merupakan partai yang banyak menggaet calon dari kalangan pemilik modal ini. PDIP mengajukan 35 pengusaha sebagai calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah. walaupun hanya delapan daerah yang dimenangkan. Sementara golkar mencalonkan 25 calon dari kalangan yang sama (pengusaha) dan memenangkan sembilan daerah. (Selengkapnya Lihat Catatan Litbang Kompas, dalam harian kompas 6 September 2005)
Penggalan dari tulisan penulis yang dimuat di Jurnal Hukum Fakultas Hukum UII, Vol.13. dengan judul tulisan "Urgensi Calon Independen dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung"
Daftar Pustaka
The Father of Reform’, The Australian Financial Review, (Mei 1999)
Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2003)
“Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 1994/1995”.
Verdi R Hadiz, Dinamika Kekuasaan Ekonomi Politik Indonesia Pasca Soeharto. (Jakarta: LP3ES. Terutama, 2005
Kompas 6 September 2005
By: elza faiz
62 tahun sudah usia kemerdekaan kita. ironinya sampai hari ini masih banyak rakyat yang tetap tertindas dan terlunta-lunta ditanah tumpah darahnya sendiri. Kekayaan alam yang dimiliki sepertinya tak pernah berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan rakyatnya. sementara perjuangan para founding father's mengusir penjajahpun justru di khianati para penerusnya dengan mengundang 'penjajah-penjajah' dalam wajah baru yang menguasai potensi alam indonesia. Kasus Freeport, blok cepu dll. adalah rujukan empirisnya. Yang terbaru adalah kebijakan pemerintah yang mengeluarkan PP No 2/2008, yang menyewakan hutan dengan bandrol hanya Rp.300 perak/ meter kubik.
Potret ironi kemerdekaan itu semakin menemukan bentuknya ketika setiap hari rakyat miskin masih dan selalu menjadi obyek derita dari semua sandiwara elite kekuasaan. Kemiskinannya menjadi komoditas yang diperjual belikan untuk keuntungan tertentu. ini semua dilakukan dalam kondisi yang dinamakan merdeka.
Sungguh makna kemerdekaan akan terasa sempit bila hanya merdeka dari para penjajah pada 17 Agustus 1945. seolah setelah kemerdekaan kita tak lagi punya musuh bersama atau tak ada lagi yang bisa dijadikan musuh bersama.
Label: Kontemplasi, Refleksi, Renungan
By: elza faiz
Hindari pesimis, karena sikap pesimistis sesungguhnya adalah bentuk ketakaburan/kesombongan, orang yang pesimis seolah-olah tahu bahwa masa depannya akan gagal berantakan. padahal ia belum mencobanya. bukankah itu sikap takabbur yang dibenci Sang Khaliq?.
Label: Kontemplasi, Renungan
Kekuatan Mimpi
By: elza faiz
Dengan mimpi kita akan jelas DITEMUKAN DIMANA, tanpa mimpi kita akan DITEMUKAN DIMANA-MANA (baca:disorientasi, tidak jelas arah dan tujuannya)
Bagi yang dipenuhi keterbatasan, jagalah mimpi, karena ia akan mengobarkan api semangat. atau tinggalkan itu bila kita memilih untuk lenyap digilas sejarah.
Label: Kontemplasi, Refleksi, Renungan
Kandung Banyak Risiko
YOGYAKARTA (Ant): Kehadiran calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) sejalan dengan kemandirian eksekutif, meskipun keadaan seperti itu juga mengandung banyak risiko.
"Kehadiran calon perseorangan memang sejalan dengan kemandirian eksekutif, namun bukan tanpa risiko sebab kemandirian eksekutif biasanya berbanding lurus dengan tingkat resistensi parlemen," kata Direktur Bidang Kajian Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Elza Faiz, Sabtu (25-8).
"Sedangkan di dalam konteks daerah ada beberapa kasus seperti itu, yakni kepala daerah digoyang parlemen (DPRD). Dengan demikian, calon perseorangan memiliki banyak risiko jika lobi di tingkat parlemen tidak bagus atau tidak memiliki kekuatan pendukung di lembaga perwakilan rakyat ini," katanya.
Ia mengatakan potensi tersebut harus diantisipasi karena Undang-Undang Pemerintah Daerah tidak banyak mengatur jika terjadi deadlock antara eksekutif dan legislatif.
Dalam Undang-Undang Pemerintah Daerah antara Pasal 29 hingga 35 hanya mengatur bahwa pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat diberlakukan, jika yang bersangkutan melakukan tindak pidana dan mendapat putusan tetap pengadilan.
"Dalam undang-undang tersebut juga tidak ada rumusan tentang pembubaran atau pembekuan sementara DPRD jika secara kelembagaan melakukan tindak pidana," katanya.
Ia menambahkan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperbolehkan calon perseorangan tampil dalam pilkada tidak serta merta dapat teraplikasi karena putusan tersebut tidak bersifat mengatur.
"Untuk itu, dibutuhkan produk hukum yang bersifat mengatur untuk menindaklanjuti putusan MK. Dalam hal ini, ada tiga pilihan yang memungkinkan yakni revisi terbatas UU No.32 tahun 2004, pembuatan Perpu dan Peraturan KPU," katanya. n D-2
Di Liput Lampung Post,27-08-2007
Birokrasi …oh birokrasi…
Birokrasi sesungguhnya memiliki peran yang sentral. Sebuah keputusan politik tidak akan bisa dieksekusi dengan baik apabila mesin birokrasinya korup.
Di indonesia, Sejak Era orde baru mesin birokrasi sengaja dirancang utk mendukung dan melanggengkan kekuasaan soeharto. alhasil tiga puluh tahun kekuasaan orde baru telah membentuk budaya kekuasaan yang korupnya demikian kokoh dan mengakar.karakter birokrasi yang kita punya bukan melayani, tetapi bagaimana dengan sengaja menciptakan sistem pelayanan yang korup dan berbelit sehingga setiap proses bisa menghasilkan uang. Idiom yang berlaku adalah KALAU BISA DIPERSULIT KENAPA HARUS DIPERMUDAH?
dengan demikian kita beranjak daripada penyakit kronis lainnya yang mengakar dibirokrasi yaitu kooptasi parpol. perkawinan antara birokrasi dan parpol tak pelak telah melahirkan sistem yang saling melemahkan.
(Disarikan dari hasil seminar Prof. Eko Prasodjo)
By: elza faiz
Diskursus panjang mengenai perubahan ulang konstitusi mulai menghangat lagi. Kali ini dipicu oleh pernyataan Presiden yang mengungkapkan rencana pembentukan komisi nasional untuk agenda perubahan konstitusi. Perdebatan yang sama sebenarnya pernah terjadi sepanjang tahun 2007, sejumlah media (cetak maupun elektronik) bahkan menjadikannya sebagai primadona isu yang selalu berada digarda depan.
MAKNA DI BALIK POLEMIK
Sesungguhnya di balik hiruk pikuk perdebatan dan polemik mengenai wacana perubahan konstitusi ada satu cerminan yang terpantul. cerminan itu tidak lain adalah "BELUM TUNTASNYA KESEPAKATAN SOSIAL POLITIK DI NEGERI INI".
kenapa demikian ???
Sebab konstitusi hakekatnya adalah kontrak sosial politik dalam relasi antara rakyat dan negara. Dengan demikian bila konstitusi masih memunculkan perdebatan maka yang terbaca disana adalah masih ada masalah dengan kontrak sosial politik tersebut. Karena itu dibutuhkan political will para petinggi negara untuk menuntaskan persoalan ini dengan cara mengagendakan ulang perubahan konstitusi. Bila tidak akan terus memicu perdebatan berlarut dan menguras energi nasional, selanjutnya akan membuat bangsa bersahabat akrab dengan stagnasi abadi.
so!!! bangunlah para pemimpin bangsa dari tidur panjang nuranimu.
Label: Hukum, Konstitusi, Pemikiran
Dimuat di harian Bernas, 09/08/2007
Salah satu ironi dalam pentas demokrasi elektoral pasca reformasi adalah angkuhnya monopoli parpol dalam pengajuan kandidat di bursa pilkada. Rakyat sebagai pemilik sah demokrasi justru tidak pernah diberi kekuasaan untuk mencalonkan secara perorangan. Kondisi tersebut jelas berseberangan dengan teorisasi demokrasi yang dalam perspektif Larry Diamond mensyaratkan dua hal, pertama hak rakyat untuk memilih pemimpin secara langsung (right to vote), kedua hak rakyat untuk berkompetisi dalam kontestasi kandidat (right to be candidate). Keduanya mengikat secara imperatif.
Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membolehkan calon perseorangan untuk tampil dalam pentas pilkada berarti telah menjulurkan satu kaki baru bagi tegaknya demokrasi elektoral. Karenanya putusan tersebut layak diapresiasi secara luas karena telah membebaskan rakyat dari ‘pembajakan’ demokrasi yang selama ini dilakoni secara purna oleh parpol. Tanpa bermaksud menjadi humasnya MK, berikut ada dua alasan mendasar yang dapat dijadikan pisau analisis untuk menolak monopoli parpol di panggung pemilihan;
Nihilnya Kontribusi Parpol dalam Setiap Sejarah Perubahan Besar di Indonesia
Sebagai sebuah bangsa yang menganut paham demokrasi, Indonesia membutuhkan parpol sebagai salah satu pilar penyangganya. Namun amanah suci yang mesti di emban parpol justru berbanding terbalik dengan prestasi yang mesti ditorehkan. Indikasinya dapat dilihat dari setiap sejarah perubahan besar di indonesia yang tidak pernah diwarnai kontribusi parpol.
Dimulai dari Sumpah Pemuda 28 oktober 1928 yang merupakan tonggak kedua pendirian NKRI tidak ditemukan peran parpol. Sumpah pemuda lahir setelah diawali inisiatif beberapa pemuda revolusioner seperti Moh. Yamin, Suyoto Hadinoto, W.R. Soepratman dll. Meskipun awalnya Belanda ingin mensabot forum tersebut, namun cita-cita nasionalisme-lah yang akhienya menang. Ben Anderson menyebutkan, Sumpah pemuda itu sebagai revolusi pemuda tanpa parpol.
Parpol juga tidak menunjukkan keterlibatannya dalam proses menuju Indonesia merdeka. Proklamasi 17 Agustus 1945 lahir atas desakan para pemuda yang terus memaksa Soekarno dan Hatta untuk segera memproklamirkan kemerdekaan setelah jepang luluh lantak atas serangan bom atom pasukan sekutu. Begitu juga saat tumbangnya Orde Lama ditahun 1966 yang didahului beberapa peristiwa, seperti pembunuhan tujuh jenderal AD (30 September 1965), hiper inflasi (650 persen di tahun 1966), membuat mahasiswa yang didukung militer berdemonstrasi besar-besaran dan akhirnya menjatuhkan rezim.
Sampai pada reformasi 1998 juga lahir tanpa kontribusi parpol, reformasi lahir dari massifnya gerakan mahasiswa dan kekuatan pro demokrasi non parpol. Ironisnya sesudah Orde Baru tumbang, parpol mengambil keuntungan dengan mengambil alih kendali kekuasaan lewat tangan-tangannya di parlemen. Salah satu bentuknya parpol memproduk Undang-undang yang memonopoli pengajuan calon dalam pilpres dan pilkada. Parpol dengan demikian telah menguasai sistem pemilihan dari hulu hingga hilir, mulai dari pemilihan presiden sampai pemilihan bupati/walikota.
Atas fenomena tersebut, Riswandha Imawan pernah menyatakan keberangannya dengan menyebut bahwa parpol selalu menjadi free-rider (penumpang gelap) dari setiap perubahan-perubahan penting dalam sejarah politik di Indonesia. Memang tidak progresifnya peran parpol dapat dikaitkan karena parpol dalam sejarah politik di Indonesia beberapa kali dipinggirkan oleh dominasi kekuasaan, di tahun 1960 misalnya, Masyumi dan PSI sebagai partai yang berpengaruh saat itu dibubarkan Soekarno karena tokoh-tokohnya dianggap terlibat pemberontakan. Sementara pada tahun 1973, tidak lama setelah Golkar memenangkan Pemilu 1971, Soeharto memaksa partai-partai yang ada untuk berfusi menjadi dua partai baru, yaitu PPP dan PDI.
Namun, ketika peranannya dipinggirkan, mestinya parpol dapat mengambil inisiatif untuk melakukan perubahan besar. Belajar dari mahasiswa dan kekuatan pro demokrasi misalnya, ketika mereka di depolitisasi melalui kebijakan NKK/BKK di tahun 1978 dan penyeragaman asas tunggal tahun 1982, mahasiswa dan kekuatan pro demokrasi tidak tertidur, tapi justru terus melawan sampai akhirnya lahir reformasi 1998 yang ditandai dengan tumbangnya Soeharto dari tampuk kekuasaannya.
Berangkat dari argumentasi sejarah kritis di atas, maka memberikan previllege pada parpol, termasuk pemberian kewenangan tunggalnya dalam pencalonan pilkada adalah kebijakan yang berlebihan dan a-historis. Karena kenyataannya parpol tidak memiliki sumbangan berarti dalam setiap sejarah perubahan besar di Indonesia.
Lemahnya Kaderisasi dan Kuatnya Komersialisasi Parpol
Kaderisasi adalah urat nadi bagi sebuah organisasi termasuk partai politik. Kaderisasi merupakan proses penyiapan SDM agar kelak menjadi para pemimpin yang mampu membangun peran dan fungsi organisasi secara optimal. Mengutip pendapat sejarahwan Inggris, George Sarton;
“Sebab hakiki dalam setiap kemunduran adalah urusan dalam, bukan urusan luar. Jika secara kebetulan kita menyaksikan sebatang pohon tumbang lantaran amukan taufan, maka seharusnya janganlah kita mengutuk taufan itu atas penumbangannya terhadap pohon tersebut. Semestinya ditujukan pada pohon itu sendiri, karena kebusukan bagian dalamnya”.
Pendapat tersebut secara impressif memberikan pressing betapa pentingnya pembenahan internal yang salah satu bentuknya adalah pengkaderan. Sayangnya, kaderisasi di tubuh parpol justru tidak pernah digarap serius. Tolok ukurnya dapat dipotret dari kesulitan parpol menempatkan orang-orang terbaiknya dalam bursa pilkada. Dalam pilkada DKI Jakarta misalnya, dari dua pasang calon yang tampil, hanya satu orang (Dani Anwar) yang murni kader parpol. Sementara di beberapa daerah juga terjadi fenomena yang sama. Bahkan, dalam pilkada Kota Yogyakarta 2006 yang lalu sempat tertunda empat bulan karena minimnya calon. Padahal ada beberapa parpol yang memenuhi electoral treshold (15%) untuk mencalonkan jagonya sendiri.
Selain karena macetnya pengkaderan faktor yang paling menonjol dari sepinya kader parpol di arena elektoral adalah maraknya komersialisasi. Hal ini dipicu karena satu-satunya kendaraan legal untuk kontestasi kandidat hanya menjadi hak parpol. Kondisi tersebut membuat kader-kader terbaik yang dimiliki parpol (kalaupun ada) seringkali tersisihkan karena kalah bersaing secara finansial.
Maraknya komersialisasi di tubuh parpol tersebut juga disokong kondisi internal partai di indonesia yang belum bisa mandiri secara finansial. Berbeda dengan parpol di luar negeri yang sudah cukup seattle dengan mengandalkan iuran dari anggotanya. Kondisi tersebut membuat parpol di Indonesia tergerak untuk mencari back-up finansial dengan berbagai cara, termasuk dengan menjual tiket kewenangannya dalam pilkada.
Dengan demikian, dalam konteks pencalonan pilkada, ketika parpol gagal melahirkan kader terbaiknya dan hanya menjadi alat komersialisasi, maka ketentuan yang menunjuk parpol sebagai satu-satunya pemegang tiket di pilkada justru akan menjauhkan demokrasi dari cita-cita idealnya. Karenanya, keputusan MK yang meloloskan calon perseorangan untuk tampil di pilkada harus dilihat sebagai upaya penyelamatan demokrasi, plus penciptaan rival strategis bagi parpol agar berbenah dan ‘bertobat’ ke jalan yang benar, jalan menuju rakyat. Akhirnya selamat tinggal monopoli parpol.
[1] Oleh Elza Faiz, SH. Direktur Bidang Kajian dan Pelatihan, Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK). Fakultas Hukum UII. Jl.Lawu No 1.Kota Baru Yogyakarta. Telp. (0274) 545658. 081-22-787917.