Politik

Penyederhanaan Sistem Kepartaian di Indonesia

By: elza faiz

Salah satu semangat yang muncul dalam pembahasan UU pemilu adalah kuatnya upaya untuk melakukan penyederhanaan sistem kepartaian. Agenda ini mendesak karena sistem multipartai di indonesia selama ini dianggap terlalu ekstrim. Akibatnya, perjalanan pemerintahan menjadi tidak efektif, lamban dan penuh kompromi karena banyaknya kepentingan partai yang bermain.

Fenomena tersebut menggiring banyak kalangan untuk sampai pada konklusi bahwa sistem multi partai ekstrim sesungguhnya tidak compatible dengan penggunaan sistem presidensil. Syamsuddin Haris, misalnya berpendapat bahwa pemakaian bersama-sama antara sistem multi partai dan sistem presidensil tak ubahnya seperti kawin paksa, dari 31 negara yang stabil dengan sistem presidensil pada tahun 1993 tak ada yang menganut sistem multi partai.

Jauh sebelum itu, pendapat serupa juga pernah dilontarkan Scott Mainwaring yang menulis bahwa kombinasi antara sistem presidensil dan sistem multi partai yang ekstrim sesungguhnya bertentangan dengan demokrasi yang stabil. Penggabungan keduanya seringkali menimbulkan berbagai kesulitan dalam relasi presiden dan parlemen. Kondisi ini selanjutnya mengarah pada imobilitas atau kemandegan pemerintahan.

Mainwaring kemudian membeberkan fakta empiris, bahwa didunia ini relatif sedikit negara yang berhasil dengan kombinasi sistem presidensil dan sistem multipartai ekstrim. Tercatat hanya Chili negara yang menggunakan kombinasi tersebut dan mampu bertahan selama lebih dari 25 tahun. Selebihnya, sejarah demokrasi presidensil terutama di Amerika Latin seringkali merupakan sejarah eksekutif yang mandeg. Kegagalan ini seringkali berujung pada kegagalan demokrasi.

Sejarah Penyederhanaan Sistem Kepartaian di Indonesia
Sejarah penyederhanaan sistem kepartaian di indonesia sebenarnya bukan hal baru. Pada masa demokrasi liberal, soekarno yang cemas melihat tingginya perpecahan partai politik dan instabilitas kabinet yang jatuh bangun (usia rata-rata dari 12 kabinet dimasa demokrasi liberal tak lebih delapan bulan) membuatnya tergerak untuk mengakhiri era demokrasi liberal. Dengan mengambil momentum kegagalan majelis konstituante menentukan dasar negara, Soekarno akhirnya mewujudkan niatnya dengan mengeluarkan dekrit Presiden 5 juli 1959. Sekaligus memulai era demokrasi terpimpin.

Di era demokrasi terpimpin inilah yang selain ditandai dengan semakin kuatnya cengkeraman kekuasaan soekarno, juga ditandai adanya keinginan kuat kaum militer-sebagai salah satu kekuatan waktu itu - untuk langsung tampil di arena politik. Sejak saat itu pulalah muncul kesadaran untuk mengurangi jumlah partai politik guna mengatasi berbagai gejolak politik. Wujud dari niat itu dikenakan pada pada Masyumi dan PSI yang dibubarkan dibulan Desember 1960 karena tokoh-tokohnya dinilai terlibat pada kegiatan pemerintahan tandingan PRRI (pemerintah revolusioner republik indonesia). Bahkan pada bulan April 1961 semua partai politik, kecuali 9 partai politik,yang juga telah lolos dari saringan presiden, dibubarkan.
Pada masa orde baru, pembenahan institusi politik pada awal kebangkitan orde baru juga tetap didasarkan atas pandangan bahwa jumlah partai yang terlalu banyak tak menjamin adanya stabilitas politik. Mulai dari pemilu 1971 yang diikuti oleh 9 partai politik plus Golongan Karya (Golkar)[ dan berakhir pada kemenangan Golkar, membuat posisi militer dengan golkarnya semakin kuat. Dominannya kekuasaan golkar memungkinkan direalisasikan upaya penyederhanaan partai politik secara melembaga.

Dengan menggunakan instrumen UU Nomor 3 Tahun 1975 Tentang Partai Politik dan Golkar, Soeharto melakukan penggabungan (fusi) parpol. Empa partai politik yang beraspirasi Islam bernaung dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sementara kelima parpol lainnya dileburkan menjadi Partai demokrasi Indonesia (PDI).

Era Reformasi
Seiring dengan adanya keterbukaan dan liberalisasi politik dalam era reformasi, jumlah parpol di indonesia mengalami peningkatan tajam. Cara yang dilakukan untuk menyederhanakan partai politik adalah dengan menerapkan electoral threshold (ET). Berbeda dengan pemaknaan ET dinegara-negara lain yang diartikan sebagai ambang batas minimal tertentu untuk masuk ke parlemen, di Indonesia ET diartikan sebagai ambang batas minimal perolehan kursi untuk mengikuti pemilu berikutnya.

Kebijakan tersebut mulai dikenalkan sejak pemilu 1999 yang tercantum dalam UU No 3 tahun 1999 tentang Pemilu. Kemudian diadopsi lagi oleh UU NO 12 tahun 2003 tentang Pemilu, yang menaikkan ET dari 2 % menjadi 3 %. Batasan itu membuat hanya ada ada enam partai yang lolos ET pada pemilu 1999. Sementara pada pemilu 2004, dengan batas 3 %, mengantarkan hanya ada tujuh partai yang lolos ET untuk mengikuti pemilu 2009.

Sebagai klausula selanjutnya, jika syarat 3 persen tersebut tidak dipenuhi disediakan tiga opsi agar parpol dapat mengikuti pemilu berikutnya. Pertama, bergabung dengan parpol yang lolos ET. Kedua bergabung dengan sesama parpol parpol yang tak lolos ET sehingga mencapai batas 3 persen dan memilih salah satu nama serta lambang partai. Ketiga, mendirikan parpol baru dengan nama dan lambang baru. Dari ketiga opsi tersebut, parpol tampaknya lebih suka memilih opsi yang terakhir. Mereka lebih memilih mengganti nama serta lambang partai dan mengikuti verifikasi ulang.

Dalam UU yang baru mengenai pemilu, diintrodusir klausula baru, selain adanya ET yang besarannya tetap 3% dari perolehan kursi di DPR, juga mulai diberlakukan ketentuan mengenai jumlah suara minimal, yaitu 2,5 % untuk bisa masuk dan mendapatkan kursi di parlemen. Ketentuan tersebut disebut sebagai Parliamentary Threshold (PT)

ET Sebagai Kesalahan ‘Resep’
Sebenarnya, bila yang menjadi problem adalah perlunya penyederhanaan partai untuk menopang stabilitas pemerintahan presidensil, maka resep yang mesti dikenakan adalah bukan dengan memberlakukan ET. Pemberlakukan ET dengan segala opsinya yang tidak tegas hanya menghasilkan fenomena partai yang ‘bersalin baju’ selepas pemilu dan kembali mencoba ‘menjajakan’ diri atau cari peruntungan dalam kontes pemilu berikutnya. Tidak relevannya ET juga didasarkan pada satu argumentasi bahwa sebanyak apapun partai politik, bila hanya ada diluar parlemen, maka posisinya tidak lebih seperti posisi LSM atau Ormas yang mendesakkan kebijakan dari luar. Dengan demikian tak akan banyak mengganggu stabilitas pemerintahan.

Selain tidak relevan, pemberlakuan ET juga tidak akan efektif. Meski secara sekilas bila dilihat dari berkurangnya jumlah parpol peserta pemilu 1999 dan pemilu 2004 yang mengalami penurunan dari 48 parpol menjadi 24 parpol sepertinya efektif. Namun itu tak menjamin akan membuat partai terus berkurang di pemilu berikutnya, sebab sekarangpun partai terus bertumbuh bak cendawan dimusim hujan, baik partai yang benar-benar baru, atau metamorfosa (salin baju) dari partai lama. Bahkan yang telah dinyatakan lolos verifikasi Dephukham sudah melebihi angka 100. Sekarang menunggu verifikasi faktual KPU untuk bisa menjadi peserta pemilu.

Ketidak efektifan ET disandarkan pada beberapa alasan; Pertama; menurut Bawono Kumoro, tidak jelasnya ikatan ideologis partai di indonesia akan mempersulit langkah penyederhanaan partai. Di negara-negara maju, ikatan ideologis biasanya terbagi pada dua kelompok besar, sayap kiri dan sayap kanan. Sayap kanan cenderung prokapitalisme dan sayap kiri lebih berhaluan prososialisme dan demokrasi sosial. Ikatan yang jelas pada ideologi secara tidak langsung turut mendorong kearah penyederhanaan parpol secara alamiah. Di indonesia, ideologi partai dinilai tidak jelas. Pembagian klasik ideologi partai yang didasari nasionalis sekuler dan islam sudah tidak memadai karena sifatnya sangat simbolis. Kesulitan tersebut ditambah lagi dengan kenyataan bahwa parpol di indonesia telah terperangkap kedalam pragmatisme dan kepentingan jangka pendek yang tidak jarang turut mengorbankan nilai-nilai ideologi yang dianutnya, sehingga berujung pada perpecahan internal. Perpecahan internal tersebut juga berperan bagi terjadinya fragmentasi politik secara besar-besaran, yang pada gilirannya hanya menambah jumlah parpol di indonesia.
Kedua, rendahnya keterikatan pemilih terhadap partai-partai yang ada, menyebabkan banyak massa mengambang. Kondisi tersebut ditangkap para politisi sebagai peluang membentuk partai-partai baru guna meraih dukungan massa mengambang tersebut. Bukti rendahnya keterikatan pemilih terhadap parpol ditunjukkan oleh serangkaian survey dari Pusat Pengkajian islam dan Masyarakat (PPIM) dan Lembaga Survey Indonesia yang menunjukkan relatif rendahnya loyalitas masyarakat pemilih terhadap partai politik dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Rata-rata hanya sekitar 30 persen. Selebihnya (sekitar 70 %)bukan pemilih loyal.
secara faktual rendahnya keterikatan pemilih dengan partainya tercermin misalnya saat partai mencalonkan kandidat Presiden atau Pilkada. Banyak pemilih yang berpindah ke kandidat dari partai lain. Dalam pilkada Jabar yang baru saja berlangsung misalnya, kandidat Danny-Iwan yang disokong oleh Golkar hanya dipilih oleh 28 persen pemilih Golkar. Selebihnya terdistribusi ke kandidat lain.

Ketiga, lemahnya proses intitusionalisasi/pelembagaan partai, baik melalui AD/ART maupun UU Parpol membuat tidak adanya acuan dalam membangun disiplin partai. Partai dengan demikian banyak digerakkan oleh improvisasi pemimpin puncaknya yang hanya mengandalkan kharisma dan kekuatan politiknya yang seringkali tidak taat asas. Akibatnya bila terjadi konflik intern seringkali diselesaikan dengan cara-cara ‘adat’ seperti pendepakan. Akhir dari proses konflik itu kemudian berujung pada pendirian partai baru oleh kandidat yang terdepak.

Keempat, menurut Indra Jaya Piliang, dalam kesaksiannya sebagai saksi ahli dalam persidangan di Mahkamah konsitusi, Pemberlakuan ET menurutnya, menimbulkan masalah, yaitu terkait dengan pertanggungjawaban partai-partai yang terkena ET terhadap publik pemilih, kalau mereka harus mengganti namanya ketika mengikuti pemilu berikutnya. Sebagai contoh menarik Partai Bulan Bintang yang berubah menjadi Partai Bintang Bulan. Pertanggungjawababan Partai Bulan Bintang pada publik pemilih tidak dapat digantikan oleh Partai Bintang Bulan karena yang ada di parlemen adalah Partai Bulan Bintang.

Alasan diatas menggambarkan betapa ET adalah salah resep. sebab problem yang selama ini menjadi masalah dalam menciptakan stabilitas pemerintahan bukanlah terletak pada banyaknya jumlah partai yang ada, tetapi banyaknya partai yang ada di parlemen.

Alternatif Solusi
Dengan demikian, yang perlu dilakukan untuk menciptakan stabilitas pemerintahan presidensil adalah bukan dengan ET, tapi cukup dengan penyederhanaan partai yang ada di parlemen. Dalam hal ini setidaknya ada tiga cara, pertama dengan memberlakukan PT, kedua dengan penciutan dapil. Sementara yang ketiga adalah dengan perubahan cara penghitungan suara.
Terkait dengan PT, Menurut Kacung Marijan, sebagai salah satu penganjurnya, mengonsepsikan bahwa dengan diberlakukannya PT, maka hanya partai-partai yang mampu memperoleh prosentase tertentu yang bisa mendudukkan wakil di DPR/D. Kalau diletakkan dalam policy making process, PT itu bisa dikaitkan dengan jumlah komisi di DPR/D. Misalnya jumlah komisi di DPR sekarang ada 11 komisi, maka idealnya PT tersebut setara 11 kursi atau sekitar 2 persen.

Pentingnya dikaitkan dengan jumlah komisi karena para wakil di DPR/D memiliki fungsi pokok untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan para konstituen. Dalam konteks tersebut, sangat sulit bagi partai yang hanya memiliki kursi kurang dari 11 bisa memperjuangkan kebijakan-kebijakan yang menyangkut banyak hal.

Sekiranya PT tersebut diimplementasikan, pemerintahan yang terbangun akan lebih efektif karena jumlah partai yang terlibat terbatas. Disamping itu,wakil partai di DPR/D juga akan lebih efektif memperjuangkan kepentingan konstituen karena terwakili ke dalam komisi-komisi yang berfungsi membuat kebijakan pemerintahan.
Problemnya kemudian, PT dalam UU pemilu hanya berlaku pada tingkat nasional/DPR, dan tidak berlaku di DPRD. Kebijakan tersebut menjadi setengah hati. Padahal di era otonomi daerah, stabilitas pemerintahan didaerah pun perlu diciptakan, sekaligus untuk menopang stabilitas nasional.
Sementara berkenaan dengan penciutan daerah pemilihan, yang menurut Pipit R. Kartawidjaya disebut juga sebagai penerapan ambang batas ‘terselubung’ juga akan membuat hanya sedikit partai yang bisa menembus parlemen. Sebab melalui cara ini, dengan sedikitnya kursi yang ada di satu dapil akan membuat partai butuh lebih banyak suara untuk merebut kursi didaerah pemilihan tersebut.
Didalam UU pemilu yang baru dapil relatif mengalami penciutan, menurut pasal 204 ayat (2) UU Pemilu yang baru ditetapkan yaitu sekurang-kurangnya 3 (tiga) kursi dan sebanyak-banyaknya 10 (sepuluh) kursi. Hal ini mengalami kemajuan dibandingkan pemilu sebelumnya yang menetapkan kursi dalam satu dapil antara 3-12.

Metode terakhir yaitu dengan cara penghitungan suara, menurut Pipit Pipit R. Kartawidjaya, dalam UU No 12 Tahun 2003 yaitu dengan metode kuota varian Hare/Niemeyer/Hamilton-Larges Remainder cenderung menyebabkan parpol terkuat disebuah daerah pemilihan ‘tercuri’ kursinya dan menguntungkan parpol menengah. Disproporsionalitas kerap terjadi saat metode itu diterapkan karena bias yang kerap kali timbul. Di AS, metode itu tealh ditinggalkan seabad silam.

Dalam pemilu 2004, cara penghitungan tersebut telah memunculkan banyak ketidak adilan, parpol besar dirugikan dan keuntungan diperoleh parpol kecil. Akibatnya, parpol yang memperoleh jumlah suara sedikit justru mendapatkan kursi lebih banyak ketimbang parpol yang mendapatkan suara lebih banyak. PAN misalnya dengan suara 7,2 juta mendapat 53 kursi, sementara PKB dengan 12,0 juta suara hanya mendapat 52 kursi. Begitu juga PDS dengan jumlah suara 2,4 juta berhasil mendapat 13 kursi. sedangkan PKPB dengan jumlah suara nyaris sama yaitu 2,3 juta suara hanya mendapat 2 kursi.

Akhirnya, bila tiga alternatif diatas diberlakukan secara konsekwen, maka partai akan mendapat ‘hukuman’ secara langsung. Karenanya tidak akan terjadi lagi parpol ’bersalin baju’ sekedar sebagai siasat untuk kembali berlaga dalam pemilu. Secara perlahan ketentuan itu juga akan mendidik masyarakat untuk cenderung memilih parpol yang selalu mengirimkan wakilnya ke parlemen.

Kesimpulan
Wacana penyederhanaan sistem kepartaian di indonesia harus diletakkan pada tujuan utamanya yaitu menciptakan stabilitas pemerintahan presidensil. Spirit yang harus dijaga karenanya bukan untuk memenuhi ambisi kuasa parpol besar. Metodenya bisa dengan pemberlakuan PT, penciutan daerah pemilihan maupun perubahan cara penghitungan suara. Sementara ET tidak lagi relevan dan karenanya harus ditinjau ulang.
Namun demikian, agenda penyederhanaan partai juga harus dibarengi dengan upaya pendewasaan parpol. Langkah pendewasaan itu misalnya dengan membuat aturan yang menuntut dibukanya keuangan parpol dan sangsi yang tegas bagi parpol yang melakukan penyimpangan kekuasaan. Ttanpa itu, langkah penyederhanaan parpol akan menjadi awal dari hegemoni atau bahkan tirani parpol besar. Pemerintahan yang terbentuk mungkin memang akan lebih stabil, tapi hanya melayani kepentingan kelompoknya sendiri.

Disampaikan dalam Diskusi di PSHK FH UII, Yogyakarta 18 April 2008.

Daftar Pustaka

Arend Lipjhart (penyadur) ” Sistem Pemerintrahan Parlementer dan Sistem Presidensil”.PT Raja Grafindo, Jakarta, Cetakan Pertama 1995
Karim Rusli, “Perjalanan Partai Politik Di Indonesia, Sebuah potret Pasang Surut”.PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,1993.
• Bawono Kumoro, ”Ideologi dan Problem Kepartaian di Indonesia” www. unisosdem.org.
Saiful Munjani, “Pilkada, Kekuatan Partai dan Signifikasi Calon”, Media Indonesia Online, 9 desember 2005.
• Kacung Marijan, “ET,PT dan Stabilitas Pemerintahan”.www. rakyat lampung.com, 26 februari 2008.Putusan MK No 16/PUU-V/2007.
• Sidik Pramono, ”Menghukum Sang Penyalur Aspirasi”. www.kompas.com
• Kompas, 14 Maret 2007
• Kompas, 8 Februari 2008

0 komentar:

Blogger Template by Blogcrowds