Politik

Mewaspadai Laju Kelompok Oligarki Kapitalis Lama
Di Panggung Elektoral

By: elza faiz


Tumbuh suburnya kekuatan kapitalis domestik di Indonesia pada penghujung dekade 80-an hanya dapat dinarasikan dengan menghubungkannya pada peran negara yang sangat dominan dan sentralistik. Tidak saja dengan monopoli langsung atas akses sumber daya ekonomi tetapi juga posisinya yang sangat menentukan dalam pengaturan dan pengalokasiannya. Namun demikian, adalah keliru untuk membayangkan bahwa sistem pengaturan dan pengalokasian akses sumber daya ekonomi itu dilakukan melalui cara cara fair sebagaimana yang terjadi di dalam sistem ekonomi kapitalis liberal melainkan melalui jaringan patronase yang berpusat pada soeharto. Jaringan patronase ini sendiri melibatkan para anggota keluarga Soeharto, klik politik petinggi negara, dan segelintir kapitalis Tionghoa.


Sistem kapitalisme negara sendiri awalnya dibangun dengan mendominasi minyak, pertambangan dan sektor-sektor sumberdaya alam, infrastruktur, perbankan, dan perdagangan. Kapitalisme negara kemudian mencapai puncak selama tahun-tahun boom minyak 1978-1982, dimana koper-koper negara padat dengan petrodolar. adapun boom minyak terdiri dari dua fase, antara 1973 dan 1974, harga minyak internasional naik dari sekitar US$ 3 perbarel menjadi lebih dari US$ 40 per barel. Sebagai akibatnya, ekspor minyak dan gas Indonesia melonjak dari US $ 1,6 juta atau 50,1 persen total ekspor tahun 1973, menjadi US$ 18,4 juta atau 82,6 persen total ekspor tahun 1982. bersamaan dengan itu pula, pendapatan pemerintah dari ekspor pajak minyak dan gas meningkat dari RP 392 Miliar atau 39,5 persen total pemasukan tahun 1973, menjadi Rp 8,6 Trilyun, atau lebih dari 70 persen total pemasukan pemerintah tahun 1981-82. (Lihat, Republik Indonesia, “Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 1994/1995”).
Setelah mendapat rezeki nomplok dari minyak tersebut, Soeharto kemudian membentuk “Tim Sepuluh” dibawah kekuasaan Sekretariat Negara ( berkait langsung diatasnya adalah Golkar) yang diberi kuasa untuk menguasai semua proyek diatas 500 juta, serta menguasai pengambil alihan tanah untuk proyek-proyek baru serta memberi izin bagi proyek dan mengontrol proyek. Pada bulan Juli 1980 presiden mengeluarkan keputusan untuk memperluas kekuasaan “Tim Sepuluh” untuk menguasai semua perusahaan negara, dengan Pertamina sebagai hadiah terbesar”. Sementara untuk strategi politik rezim, kelebihan dana dari minyak, digunakan oleh Orde Baru untuk membiayai kekerasan disegala bidang.
Akan tetapi dalam perkembangannya, sistem kapitalisme negara terpecah juga oleh krisis anjloknya harga minyak pada tahun 1981-1982 dan sekali lagi pada tahun 1986. Krisis anjloknya harga minyak secara dramatis tersebut menggeser pilihan-pilihan bagi para pemain utama. Hal ini menjadi lampu kuning bagi muculnya kebutuhan untuk memobilisasi sumber-sumber dana investasi baru dari sektor swasta dengan membangun industri-industri ekspor dan membangun basis-basis pemasukan baru. bahkan dalam perkembangan selanjutnya krisis ini juga mengakibatkan lembaga donor internasional melakukan desakan kepada pemerintah untuk menjalankan paket deregulasi ekonomi.
Namun, deregulasi yang awalnya dimaksudkan untuk memupus praktik-praktik monopoli negara atas berbagai sumber daya ekonomi dalam rangka menumbuhkan sebuah perekonomian yang lebih berorientasi kepada pasar liberal gagal diwujudkan. Hal ini tidak lain karena para penikmat deregulasi adalah kaum oligarki. Bukannya meliberalkan pasar, yang terjadi justru melicinkan jalan bagi pemindahan monopoli negara atas akses sumberdaya ke tangan para oligarki. Pada titik inilah ‘penjarahan sistematis’ yang dilakukan kelompok oligarki atas berbagai akses sumberdaya produktif yang sebelumnya berada dibawah kendali negara dimulai.
Lebih dari sekedar menguasai akses ke berbagai sumberdaya ekonomi, kaum oligarki (dalam bahasa Vedi R Hadiz, kelompok ini disebut sebagai predator) juga berupaya melakukan penguasaan terhadap lembaga-lembaga politik sebagai instrumen untuk menjamin langgengnya dominasi mereka. Karena itu, sejak dekade 1980-an, Golkar yang sebelumnya partainya negara segera beralih sebagai kendaraan politik kaum oligarki. Mengingat bahwa partai ini kerap-kali memenangkan pemilu, maka tidaklah mengherankan kalau kaum oligarki ini juga memperoleh posisi di parlemen. Kondisi inilah yang terus bertahan selama sekitar satu dekade hingga akhirnya mengantarkan Indonesia terhempas badai krisis financial ditahun 1997 dan menyapu struktur bangunan ekonomi politik orde baru ditahun 1998 yang ditandai dengan terjungkalnya salah seorang diktator paling kuat didunia Soeharto dari kursi kekuasaannya.
Bersamaan dengan itulah, sejumlah analis baik dalam maupun luar negeri mulai melontarkan gagasan teori bahwa perjalanan Indonesia pasca soeharto pasca 1998 akan menempuh trayek mulus untuk mencapai format politik demokratis dan ekonomi liberal. Namun kenyataannya, meskipun struktur ekonomi-politik orde baru runtuh berkeping-keping, perubahan-perubahan yang terjadi hanyalah pada konteks, dan oleh karena itu, ia tidak mengubah basis material yang sesungguhnya. Sebab proses dominasi elit orde baru beserta kalangan oligarki tidak saja terhadap politik dan ekonomi, tetapi juga terhadap civil society pada dasarnya tetap berlangsung. Perbedaannya dengan masa lalu terletak pada cara melanggengkan dominasinya. Jika pada masa lalu dominasi dilakukan dengan menggunakan instrumen otoritas sentral negara, maka pada era pasca Soeharto dominasi dilakukan melalui berbagai partai politik, pemilu, parlemen, dan desentralisasi.
kuatnya dominasi kekuasaan kaum oligarki itu tergambar juga dari pengakuan Amin Rais, yang menyatakan bahwa ” Saya percaya bahwa proses reformasi total akan lebih mudah setelah soeharto turun dari kekuasaan. Saya mengasumsikan bahwa dia adalah hambatan terbesar reformasi dan, setelah dia disingkirkan, saya percaya kami akan bisa mendesak dilakukannya reformasi dengan lebih mudah. Saya salah…..Sekarang saya sadar, piramida yang ditinggalkan Soeharto masih berdiri”
Bersandar dari kajian Verdi di atas, maka pilpres dan pilkada akan menjadi salah satu sasaran strategis bagi kaum oligarki kapitalis lama yang dibesarkan Orde Baru untuk mengkonsolidasikan kekuatan politik dan monopoli ekonominya dengan cara merebut jabatan puncak di eksekutif. Apalagi dengan kebijakan yang hanya mengakui parpol sebagai satu-satunya pemegang kunci pencalonan, maka dengan kekuatan finansial yang ia punya akan memudahkan kaum oligarki ini untuk memonopoli kontestasi pencalonan dengan membeli tiket pada parpol. dan pada akhirnya mereka jugalah yang akan tampil sebagai penguasa-penguasa terdepan di negeri ini. kalau hal ini terjadi, tentu jalan reformasi akan semakin terjal dan berliku sehingga mimpi untuk menciptakan demokrasi yang terkonsolidasi menjadi makin jauh panggang dari api.
Karena itu, untuk menghambat laju mereka dalam membangun kerajaan predatornya, sekaligus untuk melempangkan jalan reformasi, maka pilpres dan pilkada harus membuka pintu seluas-luasnya untuk kontestasi calon, termasuk pintu bagi calon independen, agar rakyat dari berbagai latar belakang dapat berkontestasi secara fair, adil dan demokratis. Dengan demikian, terbuka peluang lahirnya ‘nahkoda-nahkoda’ di daerah yang mampu menyelami bahasa dan kebutuhan rakyatnya.
(sekedar tambahan data, menurut catatan litbang kompas, selama Juni 2005, dari 125 kabupaten/kota yang melaksanakan hajatan politik lokal ini, setidaknya terdapat 80 daerah yang calonnya dari kalangan pengusaha (tidak menutup kemungkinan, beberapa pengusaha yang tampil dipilkada ini adalah kelompok oligarki lama. red). Jumlah ini merupakan peningkatan besar bila dibandingkan dengan periode sebelumnya yang hanya lima persen dari 415 kabupaten/kota di indonesia. Dari beberapa parpol yang berlaga, PDIP merupakan partai yang banyak menggaet calon dari kalangan pemilik modal ini. PDIP mengajukan 35 pengusaha sebagai calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah. walaupun hanya delapan daerah yang dimenangkan. Sementara golkar mencalonkan 25 calon dari kalangan yang sama (pengusaha) dan memenangkan sembilan daerah. (Selengkapnya Lihat Catatan Litbang Kompas, dalam harian kompas 6 September 2005)
Penggalan dari tulisan penulis yang dimuat di Jurnal Hukum Fakultas Hukum UII, Vol.13. dengan judul tulisan "Urgensi Calon Independen dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung"
Daftar Pustaka
The Father of Reform’, The Australian Financial Review, (Mei 1999)
Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2003)
“Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 1994/1995”.
Verdi R Hadiz, Dinamika Kekuasaan Ekonomi Politik Indonesia Pasca Soeharto. (Jakarta: LP3ES. Terutama, 2005
Kompas 6 September 2005

0 komentar:

Blogger Template by Blogcrowds