Selamat Tinggal Monopoli Parpol [1]
Dimuat di harian Bernas, 09/08/2007
Salah satu ironi dalam pentas demokrasi elektoral pasca reformasi adalah angkuhnya monopoli parpol dalam pengajuan kandidat di bursa pilkada. Rakyat sebagai pemilik sah demokrasi justru tidak pernah diberi kekuasaan untuk mencalonkan secara perorangan. Kondisi tersebut jelas berseberangan dengan teorisasi demokrasi yang dalam perspektif Larry Diamond mensyaratkan dua hal, pertama hak rakyat untuk memilih pemimpin secara langsung (right to vote), kedua hak rakyat untuk berkompetisi dalam kontestasi kandidat (right to be candidate). Keduanya mengikat secara imperatif.
Dimuat di harian Bernas, 09/08/2007
Salah satu ironi dalam pentas demokrasi elektoral pasca reformasi adalah angkuhnya monopoli parpol dalam pengajuan kandidat di bursa pilkada. Rakyat sebagai pemilik sah demokrasi justru tidak pernah diberi kekuasaan untuk mencalonkan secara perorangan. Kondisi tersebut jelas berseberangan dengan teorisasi demokrasi yang dalam perspektif Larry Diamond mensyaratkan dua hal, pertama hak rakyat untuk memilih pemimpin secara langsung (right to vote), kedua hak rakyat untuk berkompetisi dalam kontestasi kandidat (right to be candidate). Keduanya mengikat secara imperatif.
Pasca disahkannya UU Pemda, right to vote memang telah diakomodir. Namun tidak demikian dengan right to be candidate, UU tersebut gagal mengakomodasi. Kondisi itu membuat demokrasi elektoral di Indonesia mengalami kepincangan, satu kaki diberikan hak berpijak sementara kaki lainnya dipangkas. Kalaupun ada sedikit celah dalam Pasal 59 ayat (3) UU Pemda yang memberi tempat buat calon perseorangan, tetapi dengan adanya ketentuan wajib menggunakan kendaraan parpol, maka yang akan terjadi adalah upaya pengkondisian pada calon perseorangan untuk ‘berselingkuh’ atau di paksa ‘kawin’ dengan parpol. Padahal belum tentu calon yang akan tampil memiliki kesamaan ideologi serta visi dan misi yang searah dengan semua parpol yang ada.
Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membolehkan calon perseorangan untuk tampil dalam pentas pilkada berarti telah menjulurkan satu kaki baru bagi tegaknya demokrasi elektoral. Karenanya putusan tersebut layak diapresiasi secara luas karena telah membebaskan rakyat dari ‘pembajakan’ demokrasi yang selama ini dilakoni secara purna oleh parpol. Tanpa bermaksud menjadi humasnya MK, berikut ada dua alasan mendasar yang dapat dijadikan pisau analisis untuk menolak monopoli parpol di panggung pemilihan;
Nihilnya Kontribusi Parpol dalam Setiap Sejarah Perubahan Besar di Indonesia
Sebagai sebuah bangsa yang menganut paham demokrasi, Indonesia membutuhkan parpol sebagai salah satu pilar penyangganya. Namun amanah suci yang mesti di emban parpol justru berbanding terbalik dengan prestasi yang mesti ditorehkan. Indikasinya dapat dilihat dari setiap sejarah perubahan besar di indonesia yang tidak pernah diwarnai kontribusi parpol.
Dimulai dari Sumpah Pemuda 28 oktober 1928 yang merupakan tonggak kedua pendirian NKRI tidak ditemukan peran parpol. Sumpah pemuda lahir setelah diawali inisiatif beberapa pemuda revolusioner seperti Moh. Yamin, Suyoto Hadinoto, W.R. Soepratman dll. Meskipun awalnya Belanda ingin mensabot forum tersebut, namun cita-cita nasionalisme-lah yang akhienya menang. Ben Anderson menyebutkan, Sumpah pemuda itu sebagai revolusi pemuda tanpa parpol.
Parpol juga tidak menunjukkan keterlibatannya dalam proses menuju Indonesia merdeka. Proklamasi 17 Agustus 1945 lahir atas desakan para pemuda yang terus memaksa Soekarno dan Hatta untuk segera memproklamirkan kemerdekaan setelah jepang luluh lantak atas serangan bom atom pasukan sekutu. Begitu juga saat tumbangnya Orde Lama ditahun 1966 yang didahului beberapa peristiwa, seperti pembunuhan tujuh jenderal AD (30 September 1965), hiper inflasi (650 persen di tahun 1966), membuat mahasiswa yang didukung militer berdemonstrasi besar-besaran dan akhirnya menjatuhkan rezim.
Sampai pada reformasi 1998 juga lahir tanpa kontribusi parpol, reformasi lahir dari massifnya gerakan mahasiswa dan kekuatan pro demokrasi non parpol. Ironisnya sesudah Orde Baru tumbang, parpol mengambil keuntungan dengan mengambil alih kendali kekuasaan lewat tangan-tangannya di parlemen. Salah satu bentuknya parpol memproduk Undang-undang yang memonopoli pengajuan calon dalam pilpres dan pilkada. Parpol dengan demikian telah menguasai sistem pemilihan dari hulu hingga hilir, mulai dari pemilihan presiden sampai pemilihan bupati/walikota.
Atas fenomena tersebut, Riswandha Imawan pernah menyatakan keberangannya dengan menyebut bahwa parpol selalu menjadi free-rider (penumpang gelap) dari setiap perubahan-perubahan penting dalam sejarah politik di Indonesia. Memang tidak progresifnya peran parpol dapat dikaitkan karena parpol dalam sejarah politik di Indonesia beberapa kali dipinggirkan oleh dominasi kekuasaan, di tahun 1960 misalnya, Masyumi dan PSI sebagai partai yang berpengaruh saat itu dibubarkan Soekarno karena tokoh-tokohnya dianggap terlibat pemberontakan. Sementara pada tahun 1973, tidak lama setelah Golkar memenangkan Pemilu 1971, Soeharto memaksa partai-partai yang ada untuk berfusi menjadi dua partai baru, yaitu PPP dan PDI.
Namun, ketika peranannya dipinggirkan, mestinya parpol dapat mengambil inisiatif untuk melakukan perubahan besar. Belajar dari mahasiswa dan kekuatan pro demokrasi misalnya, ketika mereka di depolitisasi melalui kebijakan NKK/BKK di tahun 1978 dan penyeragaman asas tunggal tahun 1982, mahasiswa dan kekuatan pro demokrasi tidak tertidur, tapi justru terus melawan sampai akhirnya lahir reformasi 1998 yang ditandai dengan tumbangnya Soeharto dari tampuk kekuasaannya.
Berangkat dari argumentasi sejarah kritis di atas, maka memberikan previllege pada parpol, termasuk pemberian kewenangan tunggalnya dalam pencalonan pilkada adalah kebijakan yang berlebihan dan a-historis. Karena kenyataannya parpol tidak memiliki sumbangan berarti dalam setiap sejarah perubahan besar di Indonesia.
Lemahnya Kaderisasi dan Kuatnya Komersialisasi Parpol
Kaderisasi adalah urat nadi bagi sebuah organisasi termasuk partai politik. Kaderisasi merupakan proses penyiapan SDM agar kelak menjadi para pemimpin yang mampu membangun peran dan fungsi organisasi secara optimal. Mengutip pendapat sejarahwan Inggris, George Sarton;
“Sebab hakiki dalam setiap kemunduran adalah urusan dalam, bukan urusan luar. Jika secara kebetulan kita menyaksikan sebatang pohon tumbang lantaran amukan taufan, maka seharusnya janganlah kita mengutuk taufan itu atas penumbangannya terhadap pohon tersebut. Semestinya ditujukan pada pohon itu sendiri, karena kebusukan bagian dalamnya”.
Pendapat tersebut secara impressif memberikan pressing betapa pentingnya pembenahan internal yang salah satu bentuknya adalah pengkaderan. Sayangnya, kaderisasi di tubuh parpol justru tidak pernah digarap serius. Tolok ukurnya dapat dipotret dari kesulitan parpol menempatkan orang-orang terbaiknya dalam bursa pilkada. Dalam pilkada DKI Jakarta misalnya, dari dua pasang calon yang tampil, hanya satu orang (Dani Anwar) yang murni kader parpol. Sementara di beberapa daerah juga terjadi fenomena yang sama. Bahkan, dalam pilkada Kota Yogyakarta 2006 yang lalu sempat tertunda empat bulan karena minimnya calon. Padahal ada beberapa parpol yang memenuhi electoral treshold (15%) untuk mencalonkan jagonya sendiri.
Selain karena macetnya pengkaderan faktor yang paling menonjol dari sepinya kader parpol di arena elektoral adalah maraknya komersialisasi. Hal ini dipicu karena satu-satunya kendaraan legal untuk kontestasi kandidat hanya menjadi hak parpol. Kondisi tersebut membuat kader-kader terbaik yang dimiliki parpol (kalaupun ada) seringkali tersisihkan karena kalah bersaing secara finansial.
Maraknya komersialisasi di tubuh parpol tersebut juga disokong kondisi internal partai di indonesia yang belum bisa mandiri secara finansial. Berbeda dengan parpol di luar negeri yang sudah cukup seattle dengan mengandalkan iuran dari anggotanya. Kondisi tersebut membuat parpol di Indonesia tergerak untuk mencari back-up finansial dengan berbagai cara, termasuk dengan menjual tiket kewenangannya dalam pilkada.
Dengan demikian, dalam konteks pencalonan pilkada, ketika parpol gagal melahirkan kader terbaiknya dan hanya menjadi alat komersialisasi, maka ketentuan yang menunjuk parpol sebagai satu-satunya pemegang tiket di pilkada justru akan menjauhkan demokrasi dari cita-cita idealnya. Karenanya, keputusan MK yang meloloskan calon perseorangan untuk tampil di pilkada harus dilihat sebagai upaya penyelamatan demokrasi, plus penciptaan rival strategis bagi parpol agar berbenah dan ‘bertobat’ ke jalan yang benar, jalan menuju rakyat. Akhirnya selamat tinggal monopoli parpol.
[1] Oleh Elza Faiz, SH. Direktur Bidang Kajian dan Pelatihan, Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK). Fakultas Hukum UII. Jl.Lawu No 1.Kota Baru Yogyakarta. Telp. (0274) 545658. 081-22-787917.
Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membolehkan calon perseorangan untuk tampil dalam pentas pilkada berarti telah menjulurkan satu kaki baru bagi tegaknya demokrasi elektoral. Karenanya putusan tersebut layak diapresiasi secara luas karena telah membebaskan rakyat dari ‘pembajakan’ demokrasi yang selama ini dilakoni secara purna oleh parpol. Tanpa bermaksud menjadi humasnya MK, berikut ada dua alasan mendasar yang dapat dijadikan pisau analisis untuk menolak monopoli parpol di panggung pemilihan;
Nihilnya Kontribusi Parpol dalam Setiap Sejarah Perubahan Besar di Indonesia
Sebagai sebuah bangsa yang menganut paham demokrasi, Indonesia membutuhkan parpol sebagai salah satu pilar penyangganya. Namun amanah suci yang mesti di emban parpol justru berbanding terbalik dengan prestasi yang mesti ditorehkan. Indikasinya dapat dilihat dari setiap sejarah perubahan besar di indonesia yang tidak pernah diwarnai kontribusi parpol.
Dimulai dari Sumpah Pemuda 28 oktober 1928 yang merupakan tonggak kedua pendirian NKRI tidak ditemukan peran parpol. Sumpah pemuda lahir setelah diawali inisiatif beberapa pemuda revolusioner seperti Moh. Yamin, Suyoto Hadinoto, W.R. Soepratman dll. Meskipun awalnya Belanda ingin mensabot forum tersebut, namun cita-cita nasionalisme-lah yang akhienya menang. Ben Anderson menyebutkan, Sumpah pemuda itu sebagai revolusi pemuda tanpa parpol.
Parpol juga tidak menunjukkan keterlibatannya dalam proses menuju Indonesia merdeka. Proklamasi 17 Agustus 1945 lahir atas desakan para pemuda yang terus memaksa Soekarno dan Hatta untuk segera memproklamirkan kemerdekaan setelah jepang luluh lantak atas serangan bom atom pasukan sekutu. Begitu juga saat tumbangnya Orde Lama ditahun 1966 yang didahului beberapa peristiwa, seperti pembunuhan tujuh jenderal AD (30 September 1965), hiper inflasi (650 persen di tahun 1966), membuat mahasiswa yang didukung militer berdemonstrasi besar-besaran dan akhirnya menjatuhkan rezim.
Sampai pada reformasi 1998 juga lahir tanpa kontribusi parpol, reformasi lahir dari massifnya gerakan mahasiswa dan kekuatan pro demokrasi non parpol. Ironisnya sesudah Orde Baru tumbang, parpol mengambil keuntungan dengan mengambil alih kendali kekuasaan lewat tangan-tangannya di parlemen. Salah satu bentuknya parpol memproduk Undang-undang yang memonopoli pengajuan calon dalam pilpres dan pilkada. Parpol dengan demikian telah menguasai sistem pemilihan dari hulu hingga hilir, mulai dari pemilihan presiden sampai pemilihan bupati/walikota.
Atas fenomena tersebut, Riswandha Imawan pernah menyatakan keberangannya dengan menyebut bahwa parpol selalu menjadi free-rider (penumpang gelap) dari setiap perubahan-perubahan penting dalam sejarah politik di Indonesia. Memang tidak progresifnya peran parpol dapat dikaitkan karena parpol dalam sejarah politik di Indonesia beberapa kali dipinggirkan oleh dominasi kekuasaan, di tahun 1960 misalnya, Masyumi dan PSI sebagai partai yang berpengaruh saat itu dibubarkan Soekarno karena tokoh-tokohnya dianggap terlibat pemberontakan. Sementara pada tahun 1973, tidak lama setelah Golkar memenangkan Pemilu 1971, Soeharto memaksa partai-partai yang ada untuk berfusi menjadi dua partai baru, yaitu PPP dan PDI.
Namun, ketika peranannya dipinggirkan, mestinya parpol dapat mengambil inisiatif untuk melakukan perubahan besar. Belajar dari mahasiswa dan kekuatan pro demokrasi misalnya, ketika mereka di depolitisasi melalui kebijakan NKK/BKK di tahun 1978 dan penyeragaman asas tunggal tahun 1982, mahasiswa dan kekuatan pro demokrasi tidak tertidur, tapi justru terus melawan sampai akhirnya lahir reformasi 1998 yang ditandai dengan tumbangnya Soeharto dari tampuk kekuasaannya.
Berangkat dari argumentasi sejarah kritis di atas, maka memberikan previllege pada parpol, termasuk pemberian kewenangan tunggalnya dalam pencalonan pilkada adalah kebijakan yang berlebihan dan a-historis. Karena kenyataannya parpol tidak memiliki sumbangan berarti dalam setiap sejarah perubahan besar di Indonesia.
Lemahnya Kaderisasi dan Kuatnya Komersialisasi Parpol
Kaderisasi adalah urat nadi bagi sebuah organisasi termasuk partai politik. Kaderisasi merupakan proses penyiapan SDM agar kelak menjadi para pemimpin yang mampu membangun peran dan fungsi organisasi secara optimal. Mengutip pendapat sejarahwan Inggris, George Sarton;
“Sebab hakiki dalam setiap kemunduran adalah urusan dalam, bukan urusan luar. Jika secara kebetulan kita menyaksikan sebatang pohon tumbang lantaran amukan taufan, maka seharusnya janganlah kita mengutuk taufan itu atas penumbangannya terhadap pohon tersebut. Semestinya ditujukan pada pohon itu sendiri, karena kebusukan bagian dalamnya”.
Pendapat tersebut secara impressif memberikan pressing betapa pentingnya pembenahan internal yang salah satu bentuknya adalah pengkaderan. Sayangnya, kaderisasi di tubuh parpol justru tidak pernah digarap serius. Tolok ukurnya dapat dipotret dari kesulitan parpol menempatkan orang-orang terbaiknya dalam bursa pilkada. Dalam pilkada DKI Jakarta misalnya, dari dua pasang calon yang tampil, hanya satu orang (Dani Anwar) yang murni kader parpol. Sementara di beberapa daerah juga terjadi fenomena yang sama. Bahkan, dalam pilkada Kota Yogyakarta 2006 yang lalu sempat tertunda empat bulan karena minimnya calon. Padahal ada beberapa parpol yang memenuhi electoral treshold (15%) untuk mencalonkan jagonya sendiri.
Selain karena macetnya pengkaderan faktor yang paling menonjol dari sepinya kader parpol di arena elektoral adalah maraknya komersialisasi. Hal ini dipicu karena satu-satunya kendaraan legal untuk kontestasi kandidat hanya menjadi hak parpol. Kondisi tersebut membuat kader-kader terbaik yang dimiliki parpol (kalaupun ada) seringkali tersisihkan karena kalah bersaing secara finansial.
Maraknya komersialisasi di tubuh parpol tersebut juga disokong kondisi internal partai di indonesia yang belum bisa mandiri secara finansial. Berbeda dengan parpol di luar negeri yang sudah cukup seattle dengan mengandalkan iuran dari anggotanya. Kondisi tersebut membuat parpol di Indonesia tergerak untuk mencari back-up finansial dengan berbagai cara, termasuk dengan menjual tiket kewenangannya dalam pilkada.
Dengan demikian, dalam konteks pencalonan pilkada, ketika parpol gagal melahirkan kader terbaiknya dan hanya menjadi alat komersialisasi, maka ketentuan yang menunjuk parpol sebagai satu-satunya pemegang tiket di pilkada justru akan menjauhkan demokrasi dari cita-cita idealnya. Karenanya, keputusan MK yang meloloskan calon perseorangan untuk tampil di pilkada harus dilihat sebagai upaya penyelamatan demokrasi, plus penciptaan rival strategis bagi parpol agar berbenah dan ‘bertobat’ ke jalan yang benar, jalan menuju rakyat. Akhirnya selamat tinggal monopoli parpol.
[1] Oleh Elza Faiz, SH. Direktur Bidang Kajian dan Pelatihan, Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK). Fakultas Hukum UII. Jl.Lawu No 1.Kota Baru Yogyakarta. Telp. (0274) 545658. 081-22-787917.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar