Diskursus

Pokok Pikiran Jakob Tobing
Tentang polemik Amandemen Ulang

Ditulis oleh Elza Faiz

Hasil amandemen konstitusi yang dengan gemilang diselesaikan PAH I MPR kini memunculkan polemik yang meluas. Sebagian menuntut adanya amandemen ulang. Tuntutan tersebut terus menjadi primadona berita yang menghiasi media dan berbagai jamuan ilmiah dibeberapa tempat. Apalagi yang ikut memotori adalah DPD dan beberapa pengamat serta akademisi. Dalam sebuah negara demokrasi tuntutan seperti itu tentu sah-sah saja, meski sikap arif juga harus dikedepankan. Hemat saya, sebuah konstitusi dalam perspektif tertentu bisa jadi memiliki kekurangan. Namun disisi lain, konstitusi itu sebenarnya diperlukan untuk jangka waktu yang relatif lama. Untuk memadukan dua hal berbeda tersebut, beberapa hal akan terlibat. Prinsipnya, kalau kelemahan dalam konstitusi benar-benar mendasar dan keadaan memang sudah cukup matang serta memungkinkan, maka pilihannya memang harus dilakukan amandemen. Namun semuanya tidak bisa dipaksakan, karena justru akan kontra produktif terhadap tujuan awalnya.


Dahulu ketika awal reformasi, kebutuhan amandemen memang mendesak dan keinginan untuk itu terakumulasi ketika keadaan sudah cukup matang. Dalam situasi yang amat kondusif tersebut, Produk amandemen yang dihasilkan pun menjadi ideal untuk masa itu. Sebagai salah satu contoh, posisi MPR yang sebelumnya menjadi lembaga super menurut UUD 1945 naskah asli, kini dilucuti kewenangannya oleh UUD 1945 pasca amandemen karena memang sudah tidak relevan.

Bila sekarang ada sebagian pengamat menguji UUD 1945 hasil amandemen dan kesimpulannya menilai ada beberapa hal yang kurang, itu boleh-boleh saja. Namun yang perlu dikritisi adalah apa tolok ukurnya. Bisa jadi tolok ukur yang mereka pakai melulu akademis yang lebih berorientasi pada kepuasan intelektual. Padahal menurut saya dalam urusan politik, persoalan akademik itu datangnya belakangan. Artinya persoalan akademis itu diperlukan setelah amandemen itu dilakukan untuk memberi pembenaran atau penerangan.
Sebagian juga ada kelompok yang menguji dengan menggunakan tolok ukur world view atau faham. Mereka menginginkan amandemen ulang karena amandemen sebelumnya tidak sesuai dengan world view mereka. Kelompok seperti ini tidak akan berhenti menuntut sebelum fahamnya merasa diakomodir dan dimenangkan.

Menurut saya, munculnya fenomena praktek ketatanegaraan yang menyimpang selama ini bukan karena kesalahan UUD 1945 pasca amandemen, tetapi lebih karena distorsi-distorsi dalam menerapkannya. Distorsi-distorsi itu bila dilihat dari sudut pandang perundangan, disebabkan tiga hal, pertama, UUD 1945 hasil amandemen belum dijabarkan seluruhnya kedalam UU. Kedua, UU yang masih berlaku sekarang dibuat dimasa lampau berdasarkan UUD 1945 naskah asli dan belum disesuaikan dengan UUD 1945 pasca amandemen. Ketiga, UU yang sekarang dibuat tidak sesuai atau bertentangan dengan amanat yang mestinya diperintahkan oleh UUD 1945 pasca amandemen.

Sementara dari sudut pandang person, munculnya tuntutan untuk melakukan amendemen banyak bersumber dari dua hal, pertama karena ketidak mengertian atau kesalah pahaman dalam memaknai, kedua karena tidak suka dengan hasil amandemen. Kelompok yang tidak mengerti memposisikan UUD 1945 pasca amandemen sebagai “terdakwa” atau kambing hitam dari setiap persoalan kenegaraan yang muncul. Sementara kelompok yang tidak suka melihat dari sudut pandang kepentingan subyektifnya.

Distorsi-distorsi itu bisa dilihat, Misalnya mengenai pengangkatan panglima TNI oleh presiden yang menurut UU harus melalui persetujuan DPR. Padahal jelas-jelas dalam Pasal 10 UUD 1945 pasca amandemen menyatakan secara tegas bahwa “Presiden adalah panglima tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Udara dan Angkatan Laut”. Sebagai panglima tertinggi tentunya presiden memiliki otoritas dan tidak ada keharusan untuk meminta persetujuan lembaga lain.

Dalam hal itu seharusnya presiden ambil sikap dengan meminta DPR melakukan revisi UU, bila DPR menolak, presiden dapat juga memerintahkan TNI untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Sebab UU tersebut jelas bertentangan dengan UUD 1945 dan sejarahnya UU tersebut dibuat zaman Habibie berdasarkan UU 1945 naskah asli, disaat posisinya sedang lemah dan TNI lagi banyak dihujat. Kasus ini bila dilihat dari sudut pandang perundangan menunjukkan ada distorsi karena UU yang lama belum disesuaikan, sementara dari sudut pandang person menunjukkan ketidak mengertian pemerintah, sehingga distorsi itu terus muncul.

Contoh distorsi yang lain adalah anggapan mengenai keterbatasan kewenangan DPD dalam membahas UU yang berkaitan dengan daerah, mestinya menurut UUD 1945, DPD berwenang sampai pada tahap akhir pembahasan (Pasal 22D UUD 1945 Ayat 2, tidak membatasi bahwa DPD hanya berwenang pada pembahasan awal). Tapi oleh UU Susduk dibatasi kewenangannya hanya sampai pada Pembahasan Tahap I saja. Bahwa dalam hal lain kedudukan dan wewenang DPD tidak sejajar dengan DPR, karena konsep ideal DPD dalam konteks indonesia memang seperti itu.

Ketidakbecusan UU Susduk dalam menangkap perintah UUD 1945 pasca amandemen juga dapat dilihat dari adanya ketentuan mengenai pimpinan permanen di MPR. Padahal semangat UUD 1945 sebenarnya tidak menghendaki adanya itu. Cukup kalau bersidang, pimpinan sidangnya adalah anggota MPR yang kebetulan ketua DPR dan anggota MPR yang kebetulan ketua DPD. Tapi kerena semangat penyusunan UU Susduk adalah bagi-bagi jabatan, maka distorsi itu muncul.
Para penganjur amandemen juga mengatakan, bahwa amandemen diperlukan karena bandul kekuasaan negara menurut UUD 1945 dianggap bergerak terlalu ekstrim kearah legislative heavy, misalnya dalam hal penyusunan RUU (Pasal 20 UUD 1945) yang dianggap Presiden lemah secara kewenangan, apalagi ada ketentuan bila tidak disahkan dalam 30 hari, maka RUU yang telah disepakati otomatis akan berlaku sebagai UU (Pasal 20 Ayat 5). Padahal kalau dicermati, sesungguhnya antara presiden dan DPR sama-sama punya kewenangan seimbang dalam pembahasan RUU. Buktinya Pasal 20 Ayat 3 menggariskan bila tidak ada persetujuan kedua belah pihak, RUU tidak bisa dilanjutkan pada tahap pembahasan selanjutnya. Bahkan dalam kalkulasi politik, presiden bisa lebih kuat. Presiden memegang 50% untuk sendiri dan DPR 50% tapi untuk bersama-sama. Karena itulah Veto Presiden seperti di Amerika tidak diperlukan, sebab Presiden ikut dalam membahas. Bila penganjur amandemen mendasari pada tuduhan legislative heavy seperti diatas, maka persoalannya adalah kesalah pahaman.

Begitu juga mengenai aturan impeachment/pemakzulan yang masih harus menunggu sidang MPR setelah adanya putusan MK. Banyak yang menilai aturan tersebut sebagai bentuk peletakan supremasi hukum dibawah supremasi politik. Padahal dalam ketentuan itu, keputusan politik yang akan diputuskan oleh MPR harus terlebih dahulu melalui pertimbangan dan keputusan hukum yang kuat dari MK setelah DPR mengajukan permohonan. Dalam skema kasus pemakzulan tersebut, saya sering mengistilahkan bahwa DPR adalah jaksa penuntut umumnya, MK sebagai hakimnya, sementara MPR adalah Jurinya. Kalau skema itu dimasukkan dalam system hukum negera tertentu, itu supremasi hukum juga. Seperti halnya di Amerika, meskipun hakim memutuskan terdakwa bersalah, tapi kalau juri menolak ceritanya bisa menjadi lain.

Namun demikan, perlu juga saya tegaskan bahwa dengan semua penjelasan diatas, tidak berarti saya mengatakan amandemen ulang itu tidak boleh. Sayapun tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa UUD 1945 pasca amandemen itu biar berlaku selama mungkin sampai 100-tahunan misalnya. Semuannya relative, karena pemutlakkan sesungguhnya bertentangan dengan cara berfikir demokratis itu sendiri.

Saya hanya ingin mengatakan, bahwa faktanya, tidak ada persoalan krusial yang mendesak dan harus segara diamandemen. Bilapun ada, hanya menyangkut hal-hal yang tidak terlalu urgen. Misalnya pasal mengenai pengangkatan dan penerimaan duta besar yang sebaiknya tidak perlu ada pertimbangan DPR. Namun karena tidak terlalu urgen dan mendesak saya tidak terlalu ngotot untuk mengajukan amandemen ulang. Sebaiknya fokus pemerintah sekarang adalah menerapkan dengan disiplin yang benar apa yang menjadi kehendak UUD 1945 pasca amandemen dan bekerja keras untuk menyelesaikan problem-problem social seperti pengangguran, kemiskinan dan agenda penting lainnya. Hanya dengan itu konstitusi bisa tegak. Jangan sampai karena tidak bisa menari, lantai yang disalahkan.

0 komentar:

Blogger Template by Blogcrowds