Resensi Buku

Mendesak Amandemen Ulang UUD 1945
Oleh: Elza Faiz

(Dimuat di Bulletin Komisi Yudisial RI, edisi Februari-Maret 2009)

Diskursus mengenai konstitusi selalu menjadi perbincangan serius, terutama bagi sebuah negara yang berada di masa transisi. Penyebabnya tidak lain karena konstitusi merupakan sumber hukum tertinggi yang menjadi landasan sistem hukum nasional. Kegagalan dalam menyusun konstitusi akan menjadi pertaruhan tersendiri bagi masa depan transisi sebuah negara. Apakah akan menuju demokrasi yang terkonsolidasi (consolidated democracy) atau meminjam istilah Huntington akan terjebak pola siklus, kembali ke era otoriterianisme. Pengalaman dari beberapa negara seperti Afrika Selatan, Filiphina dan Thailand mengajarkan, bahwa salah satu agenda terbesar untuk keluar dari masa transisi adalah memulai penyusunan konstitusi sebagai norma dasar kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pun di Indonesia, segera setelah membuncahnya reformasi di penghujung Mei 1998, kehendak untuk menyusun ulang konstitusi negara tak terbendung lagi. UUD 1945 sebagai konstitusi negara yang oleh Soekarno disebut sebagai revolutie grondwet sudah tidak mampu lagi mengakomodasi deru dinamika zaman. Puncak dari keinginan itu adalah dilakukannya perubahan UUD 1945 secara adendum yang dibidani oleh MPR. Perubahan itu sendiri berlangsung selama empat tahap (1999, 200, 2001, dan 2002). Sebagian kalangan menyebut hasil perubahan tersebut sebagai masterpiece anak bangsa mengingat sejak diberlakukan pertama kali pada 18 Agustus 1945, baru kali inilah UUD 1945 berhasil tersentuh perubahan.
Dalam perkembangannya, hasil amandemen UUD 1945 yang dibidani oleh MPR itupun menuai banyak gugatan. UUD 1945 hasil amandemen dinilai mengandung cacat bawaan. Pertama dari sisi proses perubahan yang tidak didahului dengan pembuatan naskah akademik. Kedua, amandemen dilakukan oleh MPR, padahal MPR merupakan obyek dari perubahan itu sendiri (berbeda dengan amandemen konstitusi di beberapa negara seperti Afrika Selatan dll yang dibidani oleh komisi konstitusi independen). Sementara dari sisi hasil perubahan, beberapa pakar mengatakan UUD 1945 mengalami kekacauan teoritis dan substantive. Mukhtie Fadjar misalnya mengatakan bahwa belum jelas paradigma ketatanegaraan apa yang mau dibangun UUD 1945 hasil amandemen.
Ditengah hiruk pikuk perdebatan itulah buku karya Ni’matul Huda yang berjudul “UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang” ini muncul ketengah publik. Buku yang terbagi kedalam delapan bab ini secara garis besar mengkaji dua grand tema, pertama, mengkaji dinamika ketatanegaraan yang muncul ketika penyusunan UUD 1945 oleh founding fathers dan implementasinya dalam lintasan sejarah ketatanegaraan RI. Kedua, mendalami kajian mengenai reformasi konstitusi yang terjadi pasca pemerintahan orde baru. Namun penulis tidak mengkaji semua materi hasil amandemen. Penulis lebih memilih fokus pada materi tertentu, yaitu tentang kelembagaan MPR dan materi tentang kekuasaan kehakiman. Selain itu wacana mengenai relasi presiden dan DPR serta calon perseorangan juga menjadi perhatian penulis di bab terakhir buku.
Diawali tarian pena penulis yang mengajak pembaca berwisata teoritis mengenai konstitusi dan konstitusionalisme. Pembaca mula-mula diantarkan untuk menelusuri jejak perjalanan konstitusi dari era Nabi Muhammad SAW dengan piagam madinah-nya sampai era pasca perang dunia ke II. Selanjutnya penulis membeberkan kekayaan teorinya mengenai pengertian konstitusi, muatan materi konstitusi, supremasi konstitusi dan konstitusionalisme. Bab awal tersebut sekaligus menjadi titik tolak dan sandaran penulis dalam membahas materi-materi di bab selanjutnya.
Di bab selanjutnya, penulis membahas mengenai cita negara (staatsidee) dalam UUD 1945. Pada bagian ini dikupas pandangan-pandangan para founding fathers mengenai cita negara yang ingin dibangun oleh bangsa Indonesia. Pembahasan dalam bab ini sekaligus memberi jawaban bahwa bukanlah paham negara integralistik-nya Soepomo yang dianut oleh UUD 1945. Pendapat penulis tersebut disandarkan pada beberapa argumentasi, salahsatunya karena rumusan dasar negara yan kemudian diterima adalah rumusan yang dibuat oleh Panitia Sembilan, dimana Soepomo tidak menjadi anggotanya. Dengan demikian menjadi jelas bahwa konsepsi Soepemo mengenai paham Negara integralistik/organis tidak dapat dipandang mendominasi gagasan-gagasan dalam UUD 1945 karena UUD 1945 merupakan kristalisasi dari berbagai unsure yang disampaikan sepanjang sidang-sidang BPUPK dan PPK.
Dengan diberikan sandaran teori pada bab lima mengenai urgensi reformasi konstitusi, Primadona pembahasan dalam buku ini baru dimulai pada bab enam. Pada bab ini penulis mulai menguliti materi hasil amandemen dengan membahas mengenai kelembagaan MPR. Dalam Pasal 2 Ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen disebutkan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah. Perubahan susunan MPR yang terdiri dari DPR dan DPD tersebut seolah mengarah pada pembentukan system dua kamar (bicameral). Namun menurut penulis, susunan MPR yang menyebutkan terdiri dari anggota-anggota DPR dan DPD, tidak tergambar konsep dua kamar. Sebab dalam susunan dua kamar bukan anggota yang menjadi unsure,tetapi badan, yaitu DPR dan DPD. Seperti halnya Congress Amerika Serikat yang terdiri dari Senate dan House of Representative. Kalau anggota yang menjadi unsure, maka MPR adalah badan yang berdiri sendiri di luar DPR dan DPD. Kedepan MPR mestinya berperan sebagai joint session antara DPR dan DPD, karenanya tidak perlu permanen.
Selain masalah kelembagaan MPR, penulis juga menyoroti khusus mengenai kompleksitas persoalan kelembagaan dalam kekuasaan kehakiman. Tiga lembaga dalam rumpun kekuasaan kehakiman MK, MA dan KY dibahas cukup mendalam. Menurut penulis, dampak dari pembatalan kewenangan pengawasan dalam UU KY tidak bisa direspon hanya dengan mengubah UU KY, tetapi harus dibenahi dari desain konstitusionalnya dalam UUD 1945. Begitu juga mengenai pembagian kewenanagan anatara MA dan MK juag harus dikaji ulang.
Di bab terakhir buku, penulis mengetengahkan bahasan mengenai relasi Presiden dan DPR. Pada saat terjadi reformasi konstitusi muncul kesepakatan dasar untuk memperkuat sistem presidensialisme di Indonesia. Namun kenyataannya kesepakatan tersebut tidak ditaati secara konsisten oleh MPR yang membidani amandemen. Pembongkaran konstruksi presidensialisme dalam UUD 1945 secara signifikan pada Perubahan Pertama tahun 1999, kemudian penguatan kelembagaan DPR pada Perubahan Kedua tahun 2000, bukanlah melahirkan keseimbangan kekuasaan antara DPR dan Presiden. Yang terjadi justru munculnya aroma “sistem parlementer” karena bandul kekuasaan telah bergerak secara ekstrim ke arah legislative heavy. Hal ini sangat berpotensi memunculkan political deadlock antara dua cabang kekuasaan tersebut.
Sementara upaya penerapan sistem presidensil kaitannya dengan penggunaan sistem multi partai juga mendapat perhatian tersendiri. Dengan berpijak pada beberapa pandangan teoritikus perbandingan politik seperti Scott Mainwaring, penulis memberi konstatasi bahwa kombinasi antara sistem presidensil dengan sistem multi partai adalah upaya kawin paksa. Sebuah kombinasi yang sulit.
Bagian paling hulu, buku ini ditutup dengan kajian mengenai urgennya calon Presiden perseorangan. Hemat penulis, dengan diberikannya tempat pada calon perseorangan di pentas pilkada, mestinya wakil-wakil rakyat terbuka jiwa demokrasinya dengan mengupayakan jalan konstitusional bagi kehadiran calon presiden perseorangan. Dengan demikian upaya menuju demokrasi yang terkonsolidasi tidak lagi jauh panggang dari api. (Elza Faiz)

Dimuat dalam Bulletin KY edisi Februari-Maret 2009

1 komentar:

How To Get the Bet365 Casino Bonus Codes in India
Learn sc 벳 the bet365 Casino Welcome 슬롯나라 Bonus for Indian Players 2021 ➤ Read ⭐ Indian 네이버 룰렛 돌리기 Bet365 Casino 365 벳 India 10bet review & start playing for real money in

26 Februari 2022 pukul 04.09  

Blogger Template by Blogcrowds