Mewujudkan Mimpi Indonesia
By: Elza Faiz
Dunia
menyimpan dua mimpi besar dalam konteks negara bangsa, the American
Dream dan the European Dream. Dua mimpi tersebut sebagian telah mewujud
menjadi kekuatan adikuasa dunia. Lalu apa mimpi Indonesia? sampai dimana
derap perjalanan kita menuju mimpi itu?
Mimpi sebuah bangsa
sudah tentu terkait dengan konteks sejarahnya. Pasca Perang Dunia II
(1939-1945), Perdana Menteri Inggris Winston Churchill merenung, mengapa
bangsa eropa saling menghancurkan?, baik dalam Perang Dunia I (1918)
maupun Perang Dunia II? Alangkah kuat dan makmurnya, seandainya Eropa
bersatu. Inilah awal “mimpi eropa”, the European Dream, dan 25 negara di
kawasan Eropa sekarang sepakat membangun uni eropa, the European Union.
Wujud
dari upaya menjemput mimpi itu, Uni eropa sekarang telah memiliki
Parlemen Eropa, mata uang bersama (Euro) dan telah merumuskan Konstitusi
Eropa yang sekarang dalam proses sosialisasi. Kelak bila konstitusi
eropa telah dapat diterima seluruh anggotanya, statusnya akan mengatasi
konstitusi masing-masing Negara. Di saat itu orang pasti akan bertanya,
bukankah itu berarti telah lahir sebuah Negara baru, The United States
of Europe?.
Apa dampak mimpi seperti itu? bersatunya 25 negara
Eropa dengan jumlah penduduk dan potensi ekonomi yang demikian besar,
serta kemampuan teknologi yang tinggi rasanya akan melahirkan adikuasa
baru yang demokratis, sekuler, yang dapat dipastikan akan mengubah
konstelasi hubungan antarnegara. Begitulah, Eropa mempersiapkan
globalisasi, semakin besar dan semakin kuat sehingga semakin kompetitif
dalam percaturan ekonomi politik dunia. Bahkan Jeremy Rifkin, dalam
bukunya The european dream menulis bahwa The european dream akan
mengatasi (eclipsing) The American Dream. Mengapa?
Jeremy
menjelaskan bahwa sebagai orang Amerika ia mendapatkan pendidikan,
prinsip dasar berkebangsaan Amerika, the right to life, liberty and
pursuit of happiness. Life, liberty, and happiness itulah tujuan buat
apa Amerika didirikan.
Dalam bahasa agama, negara hanya
mengurusi masalah-masalah duniawi. Masalah dengan Tuhan diserahkan
kepada masing-masing warga negara. itulah prinsip sekularisme yang
dianut Amerika. Demikian juga dengan sekularisme yang dianut Eropa.
namun dalam memaknai hubungan antar manusia, ada perbedaan diantara
keduanya. untuk mencapai mimpi itu, seorang Amerika harus memiliki
otonomi (individual autonomy), kebebasan individual yang besar sehingga
ia mampu bersaing di masyarakat. Dengan cara begitu ia akan merasa aman
dalam mengarungi kehidupan.
Sebaliknya, bagi Eropa ia akan
merasa aman jika dapat menyatu dengan masyarakat. Mereka lebih
menekankan community-relationship dibandingkan individual authonomy.
Dalam berbangsa dan bernegara, perbedaan itu digambarkan: Eropa lebih
menekankan global cooperation dibandingkan unilateral exercise of power,
quality of life dibandingkan accumulation of wealth.
Pada titik
ini lagi-lagi kita akan bertanya, bagaimana mimpi Indonesia saat itu?
Ada kekhawatiran bahwa mungkin kita sudah tidak berdaya. Kita hanya bisa
hanyut, kemana kecenderungan dunia akan bergerak.
Demikianlah,
ekstrak dari pembahasan buku dengan judul Kapita Selekta The Indonesian
Dream yang ditulis mantan Ketua PB HMI periode 1963-1966 Sulastomo.
Buku ini merupakan kumpulan karangan penulis yang berisi 24 artikel dan
dikelompokkan dalam tiga bab: bab pertama membahas mengenai Sistem
Jaminan Social, bab kedua berisi Belajar dari Para Tokoh, sedangkan bab
terakhir membahas mengenai Gerakan Jalan Lurus. Gerakan jalan lurus
mengacu pada hasil pemikiran sejumlah cendekiawan muda Indonesia yang
diprakarsai penulis. Gerakan tersebut bertujuan untuk membangkitkan
kembali peri kehidupan bangsa, masyarakat, dan Negara dalam bidang
social ekonomi, social politik dan social budaya.
The Indonesian Dream
Indonesia
telah merdeka lebih dari 60 tahun sejak proklamasi berkumandang di
saentero negeri. Sehari setelahnya UUD 1945 sebagai konstitusi negara
ditetapkan. Saat itu pulalah tujuan Negara terumuskan secara indah dalam
Pembukaan UUD 1945. Begitu indah dan penting-nya rumusan itu, sehingga
tetap utuh meskipun UUD 1945 mengalami amandemen selama empat tahap
(1999-2002).
Tujuan Negara yang telah terumuskan dalam pembukaan
itulah yang menurut penulis sebagai The Indonesian Dream. Mimpi tersebut
bukan sebuah fatamorgana bila kita serius dan konsisten dalam
mewujudkan-nya. Meskipun faktanya hari ini apa yang telah dirumuskan
tersebut belum dapat terwujud. Bahkan terasa semakin jauh dan semakin
diragukan maknanya di era reformasi. Penulis mencontohkan di bidang
jaminan sosial misalnya, pada tahun 2020 kita akan memiliki 20 juta-25
juta manusia lanjut usia (diatas 60 tahun) yang tidak memiliki jaminan
kesehatan dan pensiun jika tidak ada pembaruan sektor jaminan sosial.
Fenomena itu tidak mustahil akan menjadi ledakan sosial yang berat.
jumlah lansia itu setara dengan seluruh penduduk Australia atau
Malaysia. Sementara pada aspek politik, biaya demokrasi yang demikian
besar ternyata belum menghasilkan demokrasi yang diharapkan. antara
biaya dan kualitas demokrasi terjadi disparitas yang jauh.
Melalui
buku ini penulis ingin mengingatkan bahwa The Indonesian Dream
sejatinya sudah dirumuskan para pendiri bangsa. Didalamnya sudah tertera
peta arah kemana bangsa ini harus berlabuh dan apa yang akan hendak
dicapai. Bila arah dan tujuan itu tidak dipahami sebagai landasadan
bersama, maka wajar bila krisis demi krisis terus mendera bangsa ini.
Dari krisis ekonomi sampai krisis kebangsaan dan jati diri.
Penulis
juga menyadarkan pada kita bahwa Indonesia mempunyai kekuatan yang
tidak dimiliki Negara/bangsa lain. Pertama, Indonesia bukanlah Negara
sekuler, dan bukan Negara Agama. Indonesia menjunjung tinggi nilai-nilai
setiap agama. Bila setiap agama mengamalkan inti ajaran agamanaya,
niscaya akan menjadi kekuatan yang luar biasa. Kedua, Indonesia
sesungguhnya menganut demokrasi perwakilan (representative democracy)
dengan prinsip musyawarah. Hal ini merupakan modal untuk melindungi
kelompok minoritas, dengan demikian demokrasi tidak terjebak pada the
winner takes all. Ketiga, Indonesia menyadari perlunya persatuan, justru
karena memiliki banyak daerah dan wilayah yang luas, sebagaimana 25
negara eropa yang mendamba persatuan. Dengan persatuan, Indonesia akan
akan memiliki economic scale yang luas. Keempat, Indonesia sangat
mengedepankan keadilan social. Hal ini tercermin dari rumusan cita-cita
keadilan sosial, bahwa keadilan sosial merupakan satu-satunya sila dalam
Pancasila yang menggunakan kata kerja.
Kekurangan dari buku ini
mungkin kurang disertai data yang cukup lengkap. Meski hal itu bisa
'dimaafkan' karena sifatnya kumpulan artikel sehingga pendekatannya
lebih deduktif.
Buku ini penting dibaca para politisi, birokrat,
akademisi, mahasiswa dan semua anak bangsa yang peduli bagi perwujudan
mimpi Indonesia. Bukankah MIMPI adalah sebuah VISI, dan sebuah visi
sejatinya merupakan deklarasi JANJI yang harus ditepati..??? Siapa yang
ingkar maka dialah musuh negara, musuh rakyat, dan musuh peradaban
sesungguhnya.
(Resensi Buku: "Capita Selecta, the Indonesian Dream").
0 komentar:
Posting Komentar