Urgensi Calon Independen
Dalam Pemilihan Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah
Dalam Pemilihan Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah
oeh Elza Faiz
(sebagian dari tulisan ini dimuat di jurnal hukum uii, ditulis sebelum dikabulkannya calon independen dalam pilkada)
Pendahuluan
Gelombang diskursus mengenai pentingnya kehadiran calon independen dalam panggung pemilu sejatinya sudah mulai menyeruak ke publik saat draft RUU pilpres Tahun 2003 dibahas. Diskursus tersebut selain sebagai wacana alternatif juga didasari spirit akan pentingnya perluasan hak demokrasi bagi rakyat dalam konteks right to be candidate (tidak hanya right to be vote). Namun, perjuangan untuk mengusung calon independen dalam pilpres terbentur kokohnya tembok yuridis, karena UUD 1945 pasal 6A ayat (2) memberikan batasan tegas bahwa pintu pencalonan presiden hanya di izinkan melalui parpol atau gabungan parpol. Begitu juga dalam UU No 23 Tahun 2003 tentang pilpres sama sekali tidak mengintrodusir kehadiran calon independen.
Setelah menemui kegagalan di pilpres, geliat tuntutan akan pentingnya calon independen kemudian merangsek ke pilkada. Tercatat berbagai kalangan dari beragam unsur ikut larut dalam menggemakan tuntutan tersebut. Salah satu faktor penggeraknya adalah karena secara konstitutif calon independen dalam pilkada lebih probabilitif di banding pilpres. Kalau di pilpres UUD 1945 membatasi harus melalui pintu parpol, maka di pilkada konstitusi tidak memberi limitasi bahwa pintu pencalonan harus melalui parpol. Argumentasi yuridisnya didasarkan pada pasal 18 ayat 4 UUD 1945 yang tidak mengharuskan calon kepala daerah berasal dari parpol. Dengan demikian, secara implisit konstitusi memberikan perintah bahwa kandidat kepala daerah bisa melalui jalur independen.
Sayangnya, amanat tersirat yang terdapat dalam UUD 1945 tersebut gagal disikapi secara brilliant oleh para pembentuk UU, bukti empirisnya pasal 59 ayat (1) UU No 32 tahun 2004 telah memberikan garis demarkasi yang tegas bahwa pencalonan kepala daerah hanya menjadi wewenang parpol atau gabungan parpol. Bahkan, pada pasal 56 ayat (2) parpol atau gabungan parpol hanya dapat mengajukan pasangan calon apabila memperoleh sekurang-kurangnya 15 persen dari jumlah kursi di DPRD atau 15 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum.
Tidak diakomodirnya calon independen dalam pilkada ini kontan membuat gerah sejumlah kalangan, karena itu akan berdampak pada pemilih yang sejak awal seperti sudah ‘disandera’ untuk memilih calon yang di plot oleh parpol. Atau dengan kata lain alaf baru ‘pembajakan’ demokrasi telah berlangsung secara purna di Indonesia. Kebijakan tersebut juga sebuah manifestasi betapa fenomena oligarki parpol menemui bentuk nyatanya. Parpol dengan demikian telah menguasai sistem pemilihan penguasa dari hulu hingga ke hilir; mulai dari pemilihan presiden hingga ke bupati/walikota. .
Berangkat dari kegeraman itu pulalah salah satu anggota DPD RI, Bim Benyamin mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi (MK), namun MK kembali menolak. Dalam salah satu pertimbangannya MK berpendapat bahwa pengusulan calon pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang harus melalui partai politik hanya merupakan mekanisme atau tata cara mengenai bagaimana pemilihan kepala daerah tersebut dilaksanakan. Dengan demikian, hal tersebut sama sekali tidak menghilangkan hak perseorangan untuk ikut dalam pemerintahan, sepanjang syarat pengusulan melalui partai politik dilakukan sehingga rumusan diskriminasi dalam UU HAM tidak dilanggar.
Kini perjuangan untuk meng-goalkan calon independen dalam pentas pilkada kembali ditempuh melalui jalur Judicial Review ke MK. Kali ini yang mengajukan adalah Lalu Ronggolawe, anggota DPRD Lombok Tengah. Pengajuan atas dua kasus yang sama tersebut di mungkinkan karena menurut Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 6 Tahun 2006 hal itu dimungkinkan sepanjang didasari argumentasi konstitusional yang berbeda.
Upaya re-inkarnasi tuntutan tersebut secara politik juga di picu oleh dua hal, pertama, kemenangan pasangan Irwandi Yusuf dan…. sebagai kandidat independen dalam pilkada Provinsi Nagroe Aceh Darussalam. Selain itu minimnya kontestan dalam pilkada dibeberapa daerah, seperti Pilkada Kota Yoyakarta dan Pilkada Provinsi DKI Jakarta yang hanya tersedia dua pasang calon juga menjadi pendorong tersendiri. Sebab minimnya pilihan akan beresiko terhadap kualitas sebuah pagelaran demokrasi. Kedua, dipicu oleh justifikasi bahwa parpol dianggap telah gagal sebagai engine dalam memproduksi pemimpin nasional. Dalam kondisi seperti itu, sebagian pengamat kemudian melancarkan teori perlunya katup pengaman dalam setiap proses demokrasi untuk rekruitmen kepemimpinan.
Tulisan ini selanjutnya di konstruk untuk menyibak poin-poin penting tentang kehadiran calon independen dalam panggung pilpres dan pilkada. Termasuk didalamnya akan sedikit mengungkap tentang potret buram wajah parpol di Indonesia terkait dengan relevan tidaknya parpol sebagai satu-satunya pintu pencalonan pilkada.
Pentingnya Calon Independen Dalam Pilpres dan Pilkada
Ada beberapa argumentasi yang dapat di jadikan dasar untuk menyingkap tabir akan pentingnya calon independen, berikut penjelasannya;
1. Mengamputasi Praktik Money Politics Dalam Pengajuan Kandidat
Gagasan demokrasi langsung dalam memilih pemimpin politik dari perspektif antikorupsi sejatinya guna menghindari jual beli suara di parlemen, selain guna meningkatkan legitimasi dan akuntabilitas publik mereka. Bentuk politik uang tergantung dengan sistem pemilu yang diterapkan. Ada empat moda korupsi pemilu yang bertemali dengan politik uang, yaitu beli suara (vote buying), beli kandidat (candidacy buying), manipulasi pendanaan kampanye dan manipulasi administrasi dan perolehan suara (administrative electoral corruption).
Dalam konteks pemilihan langsung, praktik beli suara hampir tidak efektif, karena skalanya yang amat luas, sehingga pembelian suara dalam jumlah besar tidak akan menjamin adanya loyalitas pemilih yang dibeli. Berbeda tentunya dengan politik uang di Parlemen dengan jumlah pemilih yang kecil dan relatif homogen akan lebih aman, mudah, dan murah.
Namun, bebas dari satu mode korupsi tidak otomatis akan bebas pada mode korupsi yang lain. Dalam Pilpres dan terutama Pilkada, dengan adanya kebijakan yang menggariskan bahwa satu-satunya pintu untuk pencalonan kepala daerah hanya melalui partai politik dan gabungan partai politik yang menguasai 15 persen dari jumlah kursi di DPRD atau 15 persen dari akumulasi jumlah suara pemilu legislatif, maka sangat dikhawatirkan akan terjadi korupsi pembelian kandidat (candidacy buying).
Modus operandinya bisa jadi parpol atau gabungan parpol yang memenuhi syarat akan mendekati calon yang berkantong tebal lalu menjual tiket kewenangannya pada sang calon, tentu saja disertai bandrol harga dan kontrak politik ekonomis tertentu. Atau seperti yang ditulis Teten, bisa juga parpol menggelar semacam tender terbuka untuk mencari calon, dan sudah dapat dipastikan bahwa tender akan di menangkan oleh the highest bidder (penawar tertinggi).
Praktik semacam itu semakin dimungkinkan karena dua hal, pertama, tidak adanya ketentuan yang jelas dan tegas dalam undang-undang mengenai pelarangan politik uang dalam seleksi pencalonan kandidat. Kedua, menurut Todung , di hadapkan pada persoalan parpol di indonesia yang belum bisa mandiri secara finansial dengan mengandalkan iuran dari anggotanya. Berbeda dengan parpol di luar negeri yang relatif cukup seattle dari iuran angotanya. Kondisi tersebut membuat partai-partai di indonesia tergerak untuk mencari sumber pendanaan dari luar yang rawan terhadap terjadinya praktek korupsi.
Dalam kenyataan di lapangan, kekhawatiran di atas menemui bentuk nyata, seperti yang disuarakan oleh I Wayan Sudirta, salah satu anggota DPD RI bahwa ia mendengar calon yang mendaftar untuk mencalonkan diri di pilkada lewat partai sudah dimintai uang muka Rp 800 juta, kalau jadi kepala daerah ditambah Rp 1, 2 miliar. Salah satu sebabnya menurut I Wayan adalah karena kelemahan UU No. 32 tahun 2004 yang hanya mengakui parpol sebagai satu-satunya pemegang tiket di pilkada. Sehingga parpol dapat memeras calon kepala daerah agar bisa diloloskan dalam proses pencalonan.
Dengan demikian, dari perspektif anti korupsi, konsepsi pemilihan langsung masih belum sepenuhnya tepat sasaran. Sebab didalamnya masih ada rumusan yang memungkinkan terjadinya praktik candidacy buying. Untuk mengeliminasi praktik tersebut, selain harus ada ketentuan yang ketat mengenai pelarangan politik uang dalam proses pencalonan, juga harus ada kebijakan baru yang memungkinkan calon untuk dapat maju secara perorangan tanpa harus membeli tiket pada parpol, yaitu menyokong tampilnya calon independen.
2. Membebaskan Calon Terpilih dari Jerat Konsesi Parpol.
Salah satu kelebihan pemilihan langsung adalah kandidat terpilih tidak perlu terikat pada konsesi parpol atau faksi-faksi politik yang memilihnya. Ini diperlukan agar kandidat terpilih dapat berdiri diatas setiap kepentingan dan mampu menjembatani berbagai kepentingan tersebut. Dalam konteks pilpres misalnya, Apabila Presiden terpilih tidak dapat mengatasi kepentingan-kepentingan parpol, maka kabinet yang dibentuk cenderung merupakan kabinet koalisi parpol dan bukan kabinet kerja. Padahal pada masa krisis ekonomi seperti sekarang ini, yang kita perlukan adalah kabinet kerja. Sementara pada konteks pilkada, apabila kepala daerah terpilih tidak mampu keluar dari bayang-bayang konsesi politik parpol, maka sulit baginya untuk bekerja secara otonom. Hal ini kemudian akan berpengaruh terhadap netralitas kebijakan yang akan digulirkannya.
Sarat otonomi kekuasaan eksekutif tersebut bila dikaitkan dengan kebutuhan sistem pemerintahan presidensial juga relevan, karena akan menciptakan cheks and balances antara eksekutif dan parlemen. Sebab memang dalam sistem presidensiil, kekuasaan antara eksekutif dan parlemen berada dalam posisi seimbang/sejajar.
Namun, sesungguhnya untuk mewujudkan kemandirian eksekutif dan bebas dari konsesi parpol, sebenarnya tidak cukup hanya dengan pemilihan langsung, tetapi lebih dari itu proses kontestasi kandidat dari awal juga harus di-drive agar kandidat tidak harus memakai parpol sebagai kendaraan politiknya. Sebab walaupun dipilih secara langsung, tetapi proses pencalonan masih wajib dan mutlak melalui parpol, maka sang calon tetap akan merasa berhutang politik terhadap parpol sebagai kendaraan yang mengusungnya.
Contoh paling mutakhir adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memenangkan kontestasi pilpres langsung kemarin. Ketika ia dipilih langsung oleh rakyat, mestinya ia percaya diri dan tidak perlu mendasarkan kabinetnya dengan memasang banyak kaki partai didalamnya. Sebab yang berjasa menaikkan dirinya menjadi Presiden adalah suara rakyat, bukan suara partai. Hal itu juga sejalan dengan bangunan sistem pemerintahan presidensil yang dicirikan dengan kuatnya legitimasi dan wewenang Presiden untuk merancang komposisi pemerintahan. Tetapi SBY tidak mampu menempatkan diri pada posisi itu karena dia berangkat dengan kendaraan gabungan partai, sehingga ia tidak mampu melepaskan dirinya dari berondongan tuntutan kekuasaan pragmatis partai yang membopongnya. Fenomena ini sekaligus menunjukkan sebuah bentuk paradoks demokrasi di Indonesia.
Dalam pilkada juga berpotensi demikian, dengan adanya ketentuan dalam UU No 32 Tahun 2004 pasal 56 ayat (2) dan pasal 59 ayat (1) bahwa satu-satunya pintu pencalonan adalah parpol atau gabungan parpol yang menguasai 15 persen dari jumlah kursi di DPRD atau 15 persen dari akumulasi suara pemilu legislatif. Maka mustahil sistem ini akan membebaskan kepala daerah terpilih untuk dapat berdiri otonom. Apalagi dengan threshold 15 persen maka akan semakin banyak parpol yang di butuhkan sebagai kendaraan politiknya. Konsekuensinya akan memposisikan presiden dan kepala daerah seperti di kerubung atau dikeroyok oleh kepentingan banyak parpol yang mengusungnya atas nama balas jasa.
Berangkat dari analisis itu, maka dapat dipastikan bahwa kehadiran calon independen menjadi kontekstual dan relevan untuk menciptakan kemandirian eksekutif (baik presiden maupun kepala daerah) agar dapat berdiri di atas semua kepentingan. Sekaligus untuk mengeliminasi paradoks demokrasi di Indonesia yang makin mewujud.
3. Sebagai Substitusi Kekecewaan Rakyat Terhadap Calon Pilihan Parpol.
Reformasi yang menyeruak di penghujung mei 1998 dan ditandai dengan tumbangnya Soeharto dari kursi kekuasaan, awalnya disambut rakyat dengan suka cita dan gegap gempita. Rakyat menganggap bahwa inilah momentum untuk keluar dari ‘neraka’ krisis yang tak henti-henti menderanya. Mereka pun menggantungkan ekspektasi bahwa pemerintah pasca Soeharto akan mampu memberikan insentif dalam mewujudkan impiannya tersebut. Salah satu bentuk ekspektasinya ditunjukkan dengan ledakan partisipasinya dalam pemilu 1999 yang mencapai 90 persen angka partisipasi. Bahkan Arief Budiman, yang dikenal sebagai pencetus golput dalam pemilu 1971, ternyata pada pemilu 1999 dilaporkan menggunakan hak pilihnya karena dia memiliki harapan akan terjadi perubahan mendasar.
Namun, ekspektasi akan terjadinya perubahan mendasar pasca pemilu 1999 tak kunjung terjadi, alih-alih memperjuangkan kepentingan rakyat, wakil-wakil rakyat yang notabenenya berasal dari parpol justru ‘mabok’ dengan kepentingannya sendiri. Sementara kemiskinan, ketidakadilan, kenaikan harga, konflik horizontal, ketidakamanan dan rasa takut ancaman kejahatan, dan lain-lain yang dialami rakyat seolah luput dari perhatian.
Faktor tersebut menancapkan kekecewaan tersendiri bagi rakyat terhadap elit-elit parpol. Akibatnya, pada pemilu 2004 sebagai pemilu kedua pasca reformasi, angka partisipasi rakyat/pemilih mengalami penurunan menjadi 84 persen, Penurunan angka partisipasi tersebut kemudian terus meluas dalam Pilpres, dimana pada pemilihan Presiden putaran pertama tercatat angka 78 persen partisipasi pemilih dan menurun lagi dalam pilpres putaran kedua yang hanya menyentuh 75 persen.
Tidak berhenti sampai di pilpres, angka penurunan partisipasi pemilih terus anjlok sampai ke pilkada. Buktinya dalam pilkada kabupaten/kota ditemukan fakta politik bahwa jumlah ‘golput’ lebih besar prosentasenya dibandingkan dengan prosentase perolehan suara pasangan pemenangnya. Di sejumlah daerah, pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya alias golput mencapai angka 30 persen. Bahkan Di daerah lain ada yang mendekati 50 persen. Di Surabaya, misalnya, golput mencapai 48,32 persen atau 934.794 pemilih. Jumlah ini hampir dua kali lipat pemilih Pasangan Bambang DH – Arief Affandi, pemenang pemilihan dengan 492.999 pemilih. Sementara dalam Pilkada Kota Yogyakarta yang sempat tertunda selama empat bulan akibat calon tunggal, jumlah pemilih hanya menyentuh angka 52,..persen. dari 358.000-an pemilih.
Menurunnya angka partisipasi rakyat tersebut bila tidak diantisipasi akan terus meluas seiring dengan kekecewaan mereka terhadap elit. Akibatnya, pemilu secara substantif akan cacat secara demokratis, karena tidak disertai partisipasi mayoritas rakyat. Dalam kondisi seperti itu, Menurut Olle Tornquist, maka yang akan terjadi dalam demokrasi di Indonesia adalah munculnya hantu ‘demokrasi kaum penjahat’.
Untuk menjawab persoalan di atas, maka kemunculan calon independen bisa menjadi ‘obat’ alternatif. Kehadirannya dalam konteks ini setidaknya memiliki tiga arti penting, pertama, sebagai substitusi kekecewaan rakyat terhadap ketidakbecusan calon-calon yang di usung oleh parpol, sekaligus sebagai katup pengaman dalam setiap proses demokrasi. Kedua, akan berkontribusi terhadap perluasan hak-hak konstitusional rakyat, baik dalam konteks right to vote maupun right to be candidate. Dalam konteks right to vote misalnya, adanya substitusi akan membuat rakyat/pemilih lebih memiliki banyak preferensi dan tidak lagi di “sandera” untuk memilih calon yang di plot oleh parpol. Sementara dalam konteks right to be candidate, rakyat akan dapat berkontestasi langsung secara perorangan tanpa harus ‘berselingkuh’ atau di paksa ‘kawin’ dengan parpol, sebab belum tentu rakyat/sang kandidat yang akan tampil memiliki kesamaan ideology, visi dan misi yang seirama dengan semua parpol yang ada.
Ketiga, sejalan dengan praktik berdemokrasi rakyat indonesia yang tercermin dalam praktik pemilihan kepala desa, dimana dalam setiap pemilihan kepala desa apabila calon/kandidatnya tunggal, maka disediakan “kotak kosong” sebagai lawan. “kotak kosong” tersebut merupakan simbol oposisi gaya desa. Bahkan dalam beberapa kasus menunjukkan bahwa masyarakat desa lebih memilih “kotak kosong”. Bayangkan kalau kreasi genius gaya desa ini dibawa ke tingkat yang lebih tinggi seperti pemilu legislatif, pilpres maupun pilkada, maka dalam situasi seperti sekarang, bisa jadi yang menang atau yang menjadi anggota DPR, Presiden, Gubernur, Bupati/walikota adalah “sang kotak kosong”. Dalam konteks kekinian, “kotak kosong” tersebut dapat di tafsirkan sebagai kandidat independen.
Dengan demikian, adanya substitusi tersebut, bisa jadi akan menyegarkan kembali semangat rakyat untuk berpartisipasi dan berkontestasi, sebab hak-hak konstitusional dan tradisi berdemokrasi mereka kini telah diakomodir. Pilpres dan pilkada pun akan menemukan kembali “wajah” demokratisnya.
4. Menghambat Laju Kelompok Oligarki Kapitalis Lama dan Melempangkan Jalan Reformasi.
Tumbuh suburnya kekuatan kapitalis domestik di Indonesia pada penghujung dekade 80-an hanya dapat dinarasikan dengan menghubungkannya pada peran negara yang sangat dominan dan sentralistik. Tidak saja dengan monopoli langsung atas akses sumber daya ekonomi tetapi juga posisinya yang sangat menentukan dalam pengaturan dan pengalokasiannya. Namun demikian, adalah keliru untuk membayangkan bahwa sistem pengaturan dan pengalokasian akses sumber daya ekonomi itu dilakukan melalui cara cara fair sebagaimana yang terjadi di dalam sistem ekonomi kapitalis liberal melainkan melalui jaringan patronase yang berpusat pada soeharto. Jaringan patronase ini sendiri melibatkan para anggota keluarga Soeharto, klik politik petinggi negara, dan segelintir kapitalis Tionghoa.
Sistem kapitalisme negara sendiri awalnya dibangun dengan mendominasi minyak, pertambangan dan sektor-sektor sumberdaya alam, infrastruktur, perbankan, dan perdagangan. Kapitalisme negara kemudian mencapai puncak selama tahun-tahun boom minyak 1978-1982, dimana koper-koper negara padat dengan petrodolar. Akan tetapi dalam perkembangannya, sistem kapitalisme negara terpecah juga oleh krisis anjloknya harga minyak pada tahun 1981-1982 dan sekali lagi pada tahun 1986. Krisis anjloknya harga minyak secara dramatis tersebut menggeser pilihan-pilihan bagi para pemain utama. Hal ini menjadi lampu kuning bagi muculnya kebutuhan untuk memobilisasi sumber-sumber dana investasi baru dari sektor swasta dengan membangun industri-industri ekspor dan membangun basis-basis pemasukan baru. bahkan dalam perkembangan selanjutnya krisis ini juga mengakibatkan lembaga donor internasional melakukan desakan kepada pemerintah untuk menjalankan paket deregulasi ekonomi.
Namun, deregulasi yang awalnya dimaksudkan untuk memupus praktik-praktik monopoli negara atas berbagai sumber daya ekonomi dalam rangka menumbuhkan sebuah perekonomian yang lebih berorientasi kepada pasar liberal gagal diwujudkan. Hal ini tidak lain karena para penikmat deregulasi adalah kaum oligarki. Bukannya meliberalkan pasar, yang terjadi justru melicinkan jalan bagi pemindahan monopoli negara atas akses sumberdaya ke tangan para oligarki. Pada titik inilah ‘penjarahan sistematis’ yang dilakukan kelompok oligarki atas berbagai akses sumberdaya produktif yang sebelumnya berada dibawah kendali negara dimulai.
Lebih dari sekedar menguasai akses ke berbagai sumberdaya ekonomi, kaum oligarki (dalam bahasa Vedi R Hadiz, kelompok ini disebut sebagai predator) juga berupaya melakukan penguasaan terhadap lembaga-lembaga politik sebagai instrumen untuk menjamin langgengnya dominasi mereka. Karena itu, sejak dekade 1980-an, Golkar yang sebelumnya partainya negara segera beralih sebagai kendaraan politik kaum oligarki. Mengingat bahwa partai ini kerap-kali memenangkan pemilu, maka tidaklah mengherankan kalau kaum oligarki ini juga memperoleh posisi di parlemen. Kondisi inilah yang terus bertahan selama sekitar satu dekade hingga akhirnya mengantarkan Indonesia terhempas badai krisis financial ditahun 1997 dan menyapu struktur bangunan ekonomi politik orde baru ditahun 1998 yang ditandai dengan terjungkalnya salah seorang diktator paling kuat didunia Soeharto dari kursi kekuasaannya.
Bersamaan dengan itulah, sejumlah analis baik dalam maupun luar negeri mulai melontarkan gagasan teori bahwa perjalanan Indonesia pasca soeharto pasca 1998 akan menempuh trayek mulus untuk mencapai format politik demokratis dan ekonomi liberal. Namun kenyataannya, meskipun struktur ekonomi-politik orde baru runtuh berkeping-keping, perubahan-perubahan yang terjadi hanyalah pada konteks, dan oleh karena itu, ia tidak mengubah basis material yang sesungguhnya. Sebab proses dominasi elit orde baru beserta kalangan oligarki tidak saja terhadap politik dan ekonomi, tetapi juga terhadap civil society pada dasarnya tetap berlangsung. Perbedaannya dengan masa lalu terletak pada cara melanggengkan dominasinya. Jika pada masa lalu dominasi dilakukan dengan menggunakan instrumen otoritas sentral negara, maka pada era pasca Soeharto dominasi dilakukan melalui berbagai partai politik, pemilu, parlemen, dan desentralisasi.
Bersandar dari kajian Verdi di atas, maka pilpres dan pilkada akan menjadi salah satu sasaran strategis bagi kaum oligarki kapitalis lama yang dibesarkan Orde Baru untuk mengkonsolidasikan kekuatan politik dan monopoli ekonominya dengan cara merebut jabatan puncak di eksekutif. Apalagi dengan kebijakan yang hanya mengakui parpol sebagai satu-satunya pemegang kunci pencalonan, maka dengan kekuatan finansial yang ia punya akan memudahkan kaum oligarki ini untuk memonopoli kontestasi pencalonan dengan membeli tiket pada parpol. dan pada akhirnya mereka jugalah yang akan tampil sebagai penguasa-penguasa terdepan di negeri ini. kalau hal ini terjadi, tentu jalan reformasi akan semakin terjal dan berliku sehingga mimpi untuk menciptakan demokrasi yang terkonsolidasi menjadi makin jauh panggang dari api.
Karena itu, untuk menghambat laju mereka dalam membangun kerajaan predatornya, sekaligus untuk melempangkan jalan reformasi, maka pilpres dan pilkada harus membuka pintu seluas-luasnya untuk kontestasi calon, termasuk pintu bagi calon independen, agar rakyat dari berbagai latar belakang dapat berkontestasi secara fair, adil dan demokratis. Dengan demikian, terbuka peluang lahirnya ‘nahkoda-nahkoda’ di daerah yang mampu menyelami bahasa dan kebutuhan rakyatnya.
5. Bercermin dari Pengalaman Pilpres, Pemilihan DPD, dan Pilkada yang Telah Berlangsung.
Pemilihan Presiden, Pemilihan Dewan Perwakilan Daerah dan Pilkada langsung yang telah digelar setidaknya dapat dijadikan referensi untuk penyelenggaran pilpres dan pilkada ke depan. Dalam konteks pilpres misalnya, sejak putaran pertama pemilihan presiden, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengungguli lawan-lawannya dengan selisih cukup besar, padahal ia hanya didukung oleh sejumlah partai kecil.
Pada putaran pertama SBY hanya didukung oleh Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang, dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia. Total perolehan suaranya kurang lebih hanya sekitar 10 persen. Jumlah ini jauh dibawah perolehan suara SBY, yakni 36 persen. Ia mengalahkan Megawati yang berkekuatan PDI Perjuangan (setidaknya 18 persen), dan Wiranto yang berkekuatan Partai Golkar dan PKB (setidaknya 32 persen). Di putaran kedua ia mengalahkan Megawati dengan perolehan suara 61 persen, padahal total pemilih partai yang resmi mendukung Megawati (PDIP, Partai Golkar, PPP, PDS, PDU, dan sejumlah partai kecil lainnya) diatas 50 persen.
Dalam Pemilu untuk DPD juga demikian, kalau memperhatikan latar belakang anggota DPD terpilih sekarang, hanya 6 orang dari 128 anggota DPD (sekitar 5 persen) yang berlatar belakang kental partai politik. Selebihnya adalah tokoh-tokoh yang relatif tidak mempunyai latar belakang aktif di partai politik. Mereka pengusaha, professional, intelektual, birokrat, atau tokoh Ormas.
Sementara dalam Pilkada yang telah dilangsungkan selama bulan juni 2005 juga menyodorkan fakta paradoksal bahwa tidak ada korelasi kuat antara dukungan rakyat pada partai dalam pemilu legislatif dan dalam pilkada. Partai-partai yang menang dalam pemilu legislatif banyak mengalami kekalahan telak dalam pilkada. Sedangkan partai kecil atau gabungan partai guram justru muncul dengan kemenangan meyakinkan. Persis seperti yang terjadi dalam pilpres.
Di Semarang misalnya, pasangan Sukawi Sutarip dan Mahfudz Ali yang unggul mutlak dengan perolehan suara di atas 73 persen, bukan dicalonkan oleh PDI Perjuangan atau Partai Golkar yang dalam Pemilu Legislatif 2004 menduduki peringkat teratas. Sebaliknya, pasangan calon yang diusung PDI Perjuangan justru jeblok dan menduduki urutan paling bawah. Demikian juga yang dicalonkan Partai Golkar, hanya mencapai peringkat ketiga dengan selisih perolehan suara yang sangat tajam. Hal serupa juga terjadi di beberapa daerah lain.
Demikian juga dengan Pilkada di Banyuwangi, pasangan Ratna Ayu Lestari dan Yusuf Noris yang notabenenya hanya didukung oleh 18 partai kecil (non parlemen), mengalahkan empat kandidat lain yang didukung partai besar seperti pasangan Akhmad Wahyudi – HM Eko Sukartono yang dicalonkan PKB, pasangan Masduki Suut – Syafii yang di sokong oleh koalisi PPP dan Partai Demokrat, pasangan Susanto Suwandi – Abdul Kadir dari partai Golkar, dan pasangan Ali Sahroni – Yusuf Widjiatmoko yang di dukung PDIP.
Kalaupun pada beberapa daerah yang dimenangkan oleh pasangan calon yang didukung parpol besar, dimungkinkan kemenangan itu bukan disebabkan karena bergeraknya mesin partai sebagai vote getter, tetapi lebih disebabkan oleh faktor popularitas sang calon, selain itu juga disebabkan faktor bahwa calon yang bersangkutan adalah calon incumbent (pejabat terdahulu). Berdasar catatan litbang Media Indonesia misalnya, dari 106 daerah (khususnya kabupaten/kota) yang pilkada-nya diikuti oleh calon incumbent, yang kalah hanya 30 daerah.
Bahkan pilkada di Provinsi Nagroe Aceh Darussalam, sebagai satu-satunya pilkada yang yang di ikuti calon independen, kontestasi pada akhirnya di menangkan oleh pasangan IrwandiYusuf dan…sebagai kandidat independen. Kenyataan di atas menunjukkan bahwa parpol dalam pemilihan langsung adalah tidak penting. Karena ia terbukti tidak mampu menjadi mesin politik yang strategis dan menentukan. Dalam pemilihan langsung, menurut Lance Castles . rakyat akan lebih berfokus pada sosok sang calon dan relatif lepas dari keterikatan organisasional seperti parpol.
Fakta tersebut juga menasbihkan bahwa masyarakat pemilih di Indonesia semakin otonom. Mereka bukan lagi obyek pasif yang mudah didikte dan dijajah pilihan politiknya oleh keputusan partai yang acapkali sentralistik, pragmatis dan mengabaikan aspirasi konstituennya. Sebaliknya, masyarakat justru lebih berperan sebagai subyek otonom dan rasional yang secara sadar mampu menentukan sendiri calon pemimpinnya.
Karena itu, ketika partai-partai telah gagal sebagai kendaraan kemenangan calon. maka patut dipikirkan untuk mengamandemen UUD 1945 pasal 6A ayat (2) beserta seluruh produk perundangan yang menghalangi tampilnya calon independen dalam panggung pilpres dan pilkada. Upaya ini bukan berorientasi untuk menggusur peran parpol atau dalam bahasa Ikrar Nusa Bakti adalah deparpolisasi, tetapi justru sebagai ikhtiar agar parpol memperoleh rival yang menyehatkan. Dengan demikian parpol akan memiliki spirit untuk berbenah, bukan untuk hancur seperti yang ditakutkan Ikrar.
7. Parpol Di Indonesia Bermasalah
Keberadaan partai politik adalah syarat bagi negara yang menggunakan sistem demokrasi. Indonesia yang bergerak menuju demokrasi juga membutuhkan parpol sebagai salah satu pilar penyangga demokrasi. Menurut Harun Alrasid misalnya (dengan mengutip Gustav Radbruch) berpendapat bahwa “ kekuasaan rakyat berarti kekuasaan partai politik. Menentang eksistensi partai berarti menentang demokrasi”. Senada dengan Alrasid, Ichlasul Amal dengan tegas mengatakan, “ partai politik merupakan keharusan dalam kehidupan politik yang modern dan demokratis ”
Namun parpol yang diharapkan mampu membawa jalan demokrasi di indonesia menjadi on the right track, gagal melakukan tugasnya dengan baik. Berikut sedikit catatan tentang potret buram wajah parpol di indonesia (sekedar menunjuk beberapa saja) yang dapat dikaitkan dengan relevan tidaknya kebijakan yang menggariskan parpol sebagai satu-satunya pintu pencalonan pilkada:
a. Parpol tidak memiliki kontribusi dalam setiap sejarah perubahan besar di Indonesia.
Sejarah revolusi dan perubahan besar dalam republik ini sesungguhnya lahir tanpa kontribusi parpol didalamnya. Dimulai dari Sumpah pemuda 28 oktober 1928 yang merupakan tonggak kedua pendirian NKRI tidak ditemukan peran parpol. Sumpah pemuda lahir setelah diawali inisiatif beberapa pemuda revolusioner seperti Moh. Yamin, Suyoto Hadinoto, J.Leimina, Rohyani, W.R. Soepratman, Adnan K.Gani dan lainnya untuk mengadakan Kongres yang bertujuan untuk mempersatukan pemuda. Meskipun Belanda semula ingin mensabot kongres tersebut, namun cita-cita nasionalisme-lah yang menang. Maka pada tanggal 28 Oktober 1928 pukul 23.00 diwisma Indonesia, jalan Kramat 106, Jakarta dikumandangkan sumpah pemuda yakni; Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa: Indonesia. Ben Anderson menyebutkan, Sumpah pemuda itu sebagai revolusi pemuda tanpa parpol.
Parpol juga tidak menunjukkan keterlibatannya dalam proses menuju Indonesia merdeka. Proklamasi 17 Agustus 1945 lahir atas desakan para pemuda yang terus memaksa Soekarno dan Hatta untuk segera memproklamirkan kemerdekaan setelah jepang luluh lantak atas serangan bom atom pasukan sekutu yang akhirnya membuat jepang menyerah.
Begitu juga saat tumbangnya orde lama ditahun 1966 yang didahului beberapa peristiwa, seperti pembunuhan tujuh jenderal AD pada 30 september 1965 , hiper inflasi yang mencapai 650 persen di tahun 1966. membuat mahasiswa yang didukung militer berdemonstrasi besar-besaran, sampai berujung pada tumbangnya orde lama sekaligus menjadi awal kelahiran orde baru. Di sini juga tidak terlalu terlihat peran parpol.
Sampai pada reformasi 1998 juga lahir tanpa kontribusi parpol, reformasi lahir dari massifnya gerakan mahasiswa, kekuatan pro demokrasi dan dari banyak tokoh-tokoh non parpol. Alih-alih memberikan kontribusi dalam sejarah reformasi, yang terjadi justru parpol dalam sejarah otoritarianisme orde baru melalui wakil-wakilnya di parlemen malah ikut menjadi rubber stamp dalam menunjang kekuasaan rezim predator tersebut.
Ironisnya sesudah Orde Baru tumbang, parpol mengambil keuntungan dengan mengambil alih kendali kekuasaan lewat tangan-tangannya di parlemen dengan meninggalkan mahasiswa, kekuatan prodemokrasi, bahkan juga meninggalkan rakyat. Parpol kemudian memproduk undang-undang yang dibuatnya sebagai instrumen pembenar kekuasaannya. Salah satu buktinya adalah dengan Undang-Undang monopolinya untuk pengajuan calon dalam Pilpres dan pilkada. Atas fenomena tersebut, Riswandha Imawan menyatakan keberangannya, dengan menulis bahwa parpol selalu menjadi free-rider (penumpang gelap) dari setiap perubahan-perubahan penting dalam sejarah politik di Indonesia. Tiap peristiwa politik yang menentukan nasib bangsa ini tidak pernah melibatkan parpol. Mulai Proklamasi 17 Agustus 1945, berdirinya Orde Baru, maupun kejatuhan Soeharto 1998. Bahkan, parpol hadir "karena undangan" pemerintah. Mulai pengisian Volksraad 1918, Maklumat Pemerintah 1945, sampai ke Maklumat Habibie 1999.
Memang, tidak progresifnya peran partai dapat juga dikaitkan karena partai dalam sejarah politik di Indonesia beberapa kali dipinggirkan oleh dominasi kekuasaan, ditahun 1960 misalnya, Masyumi dan PSI sebagai partai yang berpengaruh saat itu dibubarkan Soekarno karena tokoh-tokohnya dianggap terlibat pemberontakan. Sementara pada tahun 1973, tidak lama setelah Golkar memenangkan Pemilu 1971, Soeharto memaksa partai-partai yang ada untuk berfusi menjadi dua partai baru, yaitu Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Demokrasi Indonesia. Bahkan di bulan juli 1996 Soeharto juga merusak PDI dengan menggusur Megawati Soekarno Putri dari kepemimpinan PDI yang berakibat munculnya kerusuhan.
Namun, ketika peranannya dipinggirkan, mestinya parpol dapat mengambil inisiatif untuk melakukan perubahan besar. Belajar dari mahasiswa dan kekuatan pro demokrasi misalnya, ketika mereka di depolitisasi melalui kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus pada tahun 1978 dan penyeragaman asas tunggal tahun 1982 , mahasiswa dan kekuatan pro demokrasi tidak tertidur, tapi justru terus melawan dan merongrong kursi kepresidenan Soeharto, sampai akhirnya lahir reformasi 1998 yang ditandai dengan tumbangnya penguasa totaliter tersebut.
Berangkat dari argumentasi sejarah kritis diatas, maka memberikan previllege pada parpol, termasuk pemberian kewenangan tunggalnya dalam pencalonan pilkada adalah kebijakan yang berlebihan dan a-historis. Karena kenyataannya parpol tidak memiliki sumbangan berarti dalam setiap sejarah perubahan besar di indonesia.
b. Parpol Tidak Serius Menggarap Kaderisasi.
Kaderisasi adalah urat nadi bagi sebuah organisasi termasuk partai politik. Kaderisasi merupakan proses penyiapan SDM agar kelak mereka menjadi para pemimpin yang mampu membangun peran dan fungsi organisasi secara lebih optimal. Mengutip pendapat George Sarton;
“Sebab hakiki dalam setiap kemunduran adalah urusan dalam, bukan urusan luar. Jika secara kebetulan kita menyaksikan sebatang pohon tumbang lantaran amukan taufan, maka seharusnya janganlah kita mengutuk taufan itu atas penumbangannya terhadap pohon tersebut. Semestinya ditujukan pada pohon itu sendiri, karena kebusukan bagian dalamnya”
Pendapat tersebut secara tersirat memberikan pressing betapa pentingnya pembenahan internal yang salah satu bentuknya adalah kaderisasi/pengkaderan. Secara formal misalnya, kaderisasi dapat dijalankan dengan menggunakan mediasi seperti event-event Trainning maupun pelatihan berjenjang, sedangkan secara informal adalah dengan teladan yang mesti ditunjukkan para senior partai.
Sayangnya, kaderisasi dalam parpol menjadi masalah yang tidak pernah disentuh dan digarap serius, yang terlihat partai hanya sibuk memproduksi milisi-milisi seperti satgas dll yang cenderung militeristik dan justru dianggapnya sebagai bagian penting dari pengkaderan.
Pada ranah informal menjadi semakin memprihatinkan, alih-alih memberi teladan buat kadernya, para petinggi dan senior partai justru menyuguhkan black education, ini ditunjukkan oleh mereka yang ada di DPR RI misalnya, yang oleh Cetro disebut Dewan Tuna Nurani , karena ditengah kondisi masyarakat yang di impit beban ekonomi, mereka malah menuntut kenaikan gaji. Sedangkan para senior partai yang ada di DPRD tidak kalah parah, dengan banyaknya jumlah anggota dewan yang terancam kena bui karena kasus korupsi. Bahkan fenomena itu dialami hampir seluruh DPRD di Indonesia yang notabenenya adalah orang-orang partai.
Dengan kondisi semacam itu, dimana kaderisasi tidak mampu digarap secara serius oleh parpol, maka mengharap parpol akan menjadi rahim yang akan memproduksi lahirnya calon-calon pemimpin bangsa atau calon pemimpin daerah untuk meneruskan jalan terjal demokrasi menjadi mustahil. Kalaupun ada, maka kader yang akan lahir tidak lebih dari kader-kader karbitan, seperti yang selama ini menjadi sasaran kritikan publik.
Dengan demikian, dalam konteks pencalonan pilpres dan pilkada, ketika parpol tidak mampu melahirkan kader-kader terbaik dan karenanya miskin stok kader, maka ketentuan untuk menunjuk parpol sebagai satu-satunya pemegang tiket dalam kontestasi calon menjadi tidak relevan.
Simpulan
Berangkat dari ‘wisata’ analisa di atas dapat ditarik konklusi, bahwa kehadiran calon independen dalam pilpres dan pilkada memiliki arti penting sebagai ‘malaikat’ penyelamat atas proses demokrasi yang masih hampa dari daulat rakyat. Keberadaanya juga bukan diorientasikan untuk ‘menghancurkan’ parpol yang memang selama ini panen kritik, tapi justru sebagai upaya untuk membuat parpol berkaca dan selanjutnya ‘bertobat’ untuk kembali pada tanggungjawab sucinya sebagai jembatan antara kepentingan rakyat dan Negara. Bahkan kehadiran calon independen seperti di ungkap di muka juga berkontribusi pada komitmen pemberantasan korupsi yang kini di pancangkan oleh rejim SBY. Karena itu kalau bangsa ini serius menjadikan pilpres dan pilkada sebagai momentum untuk mengentaskan bangsa dari era transisi tiada ujung menuju demokrasi terkonsolidasi, maka agenda untuk mengamandemen UUD 1945 menjadi penting dalam konteks ini, terutama pasal 6A ayat (2) yang hanya mengakui parpol sebagai kendaraan untuk kontestasi pilpres dan pasal 18 yang perlu menegaskan kehadiran calon independen dalam pentas pilkada.
Daftar Pustaka
Amal, Ichlasul (ed), 1996. Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Bandoro,Bantarto dkk. (penyunting). 1995. Refleksi Setengah Abad Kemerdekaan Indonesia, Jakarta: CSIS.
Castles,Lance 2004. “Pemilu 2004 dalam Konteks Komparatif dan Historis”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
C.S.T. Kansil dan Julianto,1987. Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Dhakidae, Daniel. 2003, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, Jakarta: Gramedia Pustaka.
Hadiz, Verdi R, 2005. Dinamika Kekuasaan Ekonomi Politik Indonesia Pasca Soeharto. Jakarta: LP3ES
Ismanto, Ign (dkk), 2004. Pemilihan Presiden Secara Langsung 2004, Dokumntasi, Analisis dan Kritik. Jakarta: Kerjasama Kementrian Riset dan Teknologi dan Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS
J. Linz, Juan, 2001, Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat, Belajar dari Kekeliruan Negara-Negara Lain. Bandung, Mizan
Karim,Rusli 1993. Perjalanan Partai Politik Di Indonesia; Sebuah Potret Pasang Surut, Jakarta: Rajawali Pers,
Khoiruddin.2004. Partai politik dan Agenda Transisi Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Liddle, R.William,1992. Partisipasi dan Partai Politik Indonesia Pada Awal Orde Baru. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Lipjhart, Arendj, 1995. Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Sarton, George. 1977. The Incubation of Western Culture In The Middle East, di Indonesiakan oleh Moh. Ridwan Assagaf. Surabaya: Pustaka Progessif.
Sastrotomo, Soebadio, 1987. Perjuangan Revolusi, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Syahrir, 1986. Ekonomi Politik Kebutuhan Pokok, Sebuah Tinjauan Prospektif, Jakarta: LP3ES
Syaidam, Gouzali (ed).1999.Dari Bilik Suara Ke Masa Depan Indonesia, Potret Konflik politik Paca Pemilu Dan Nasib Reformasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Artikel dan Data Elektronik :
Harun Alrasid, “Jabatan Presiden Republik Indonesia” , Dies rede pada Sidang Senat Terbuka Dies Natalis ke 56 Universitas Islam Indonesia, 8 November 1999.
Riswandha Imawan “Dikelilingi Serigala Politik” , Jawa Pos, 2 Januari 2006
Saiful Mujani, “Pilkada, Kekuatan Partai dan Signifikasi Calon” , Media Indonesia Online, 09 Desember 2005.Pukul 12.24. WIB
Smita Notosusanto, “Usulan Pemilihan Presiden Langsung”, www.cetro.or.id , 20 Agustus 2001, Pukul 21.33 WIB.
Tim Akbar Tandjung Institute; Ibrahim Ambong, M. Alfan Alfian, M.Agustin Prasetya, Puji Wahono, dan A.Doli Kurnia dalam “Evaluasi dan Peran Partai Politik”,AT Institute Online, 03 Februari 2006. Pukul 20.21 WIB
Suara Merdeka Online,29 Juni 2005, Pukul 17.10. WIB
Election Guide – IFES website, www ifes.org/eguide/turnout2004.htm
Press Release Cetro, Walhi, ICW, TI-I, PSHK,PERLUDEM,FORMAPPI,15 November 2005, dalam www.cetro.or.id. pukul 12.35.WIB.
Suara Pembaruan, 10 Desember 2004
Kompas, 5 Agustus 2002.
Kompas, 11 Februari 2005.
Kompas, 6 September 2005
Kompas 26 Desember 2005
Jawa Pos, 12 Agustus 2005.
Sayangnya, amanat tersirat yang terdapat dalam UUD 1945 tersebut gagal disikapi secara brilliant oleh para pembentuk UU, bukti empirisnya pasal 59 ayat (1) UU No 32 tahun 2004 telah memberikan garis demarkasi yang tegas bahwa pencalonan kepala daerah hanya menjadi wewenang parpol atau gabungan parpol. Bahkan, pada pasal 56 ayat (2) parpol atau gabungan parpol hanya dapat mengajukan pasangan calon apabila memperoleh sekurang-kurangnya 15 persen dari jumlah kursi di DPRD atau 15 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum.
Tidak diakomodirnya calon independen dalam pilkada ini kontan membuat gerah sejumlah kalangan, karena itu akan berdampak pada pemilih yang sejak awal seperti sudah ‘disandera’ untuk memilih calon yang di plot oleh parpol. Atau dengan kata lain alaf baru ‘pembajakan’ demokrasi telah berlangsung secara purna di Indonesia. Kebijakan tersebut juga sebuah manifestasi betapa fenomena oligarki parpol menemui bentuk nyatanya. Parpol dengan demikian telah menguasai sistem pemilihan penguasa dari hulu hingga ke hilir; mulai dari pemilihan presiden hingga ke bupati/walikota. .
Berangkat dari kegeraman itu pulalah salah satu anggota DPD RI, Bim Benyamin mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi (MK), namun MK kembali menolak. Dalam salah satu pertimbangannya MK berpendapat bahwa pengusulan calon pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang harus melalui partai politik hanya merupakan mekanisme atau tata cara mengenai bagaimana pemilihan kepala daerah tersebut dilaksanakan. Dengan demikian, hal tersebut sama sekali tidak menghilangkan hak perseorangan untuk ikut dalam pemerintahan, sepanjang syarat pengusulan melalui partai politik dilakukan sehingga rumusan diskriminasi dalam UU HAM tidak dilanggar.
Kini perjuangan untuk meng-goalkan calon independen dalam pentas pilkada kembali ditempuh melalui jalur Judicial Review ke MK. Kali ini yang mengajukan adalah Lalu Ronggolawe, anggota DPRD Lombok Tengah. Pengajuan atas dua kasus yang sama tersebut di mungkinkan karena menurut Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 6 Tahun 2006 hal itu dimungkinkan sepanjang didasari argumentasi konstitusional yang berbeda.
Upaya re-inkarnasi tuntutan tersebut secara politik juga di picu oleh dua hal, pertama, kemenangan pasangan Irwandi Yusuf dan…. sebagai kandidat independen dalam pilkada Provinsi Nagroe Aceh Darussalam. Selain itu minimnya kontestan dalam pilkada dibeberapa daerah, seperti Pilkada Kota Yoyakarta dan Pilkada Provinsi DKI Jakarta yang hanya tersedia dua pasang calon juga menjadi pendorong tersendiri. Sebab minimnya pilihan akan beresiko terhadap kualitas sebuah pagelaran demokrasi. Kedua, dipicu oleh justifikasi bahwa parpol dianggap telah gagal sebagai engine dalam memproduksi pemimpin nasional. Dalam kondisi seperti itu, sebagian pengamat kemudian melancarkan teori perlunya katup pengaman dalam setiap proses demokrasi untuk rekruitmen kepemimpinan.
Tulisan ini selanjutnya di konstruk untuk menyibak poin-poin penting tentang kehadiran calon independen dalam panggung pilpres dan pilkada. Termasuk didalamnya akan sedikit mengungkap tentang potret buram wajah parpol di Indonesia terkait dengan relevan tidaknya parpol sebagai satu-satunya pintu pencalonan pilkada.
Pentingnya Calon Independen Dalam Pilpres dan Pilkada
Ada beberapa argumentasi yang dapat di jadikan dasar untuk menyingkap tabir akan pentingnya calon independen, berikut penjelasannya;
1. Mengamputasi Praktik Money Politics Dalam Pengajuan Kandidat
Gagasan demokrasi langsung dalam memilih pemimpin politik dari perspektif antikorupsi sejatinya guna menghindari jual beli suara di parlemen, selain guna meningkatkan legitimasi dan akuntabilitas publik mereka. Bentuk politik uang tergantung dengan sistem pemilu yang diterapkan. Ada empat moda korupsi pemilu yang bertemali dengan politik uang, yaitu beli suara (vote buying), beli kandidat (candidacy buying), manipulasi pendanaan kampanye dan manipulasi administrasi dan perolehan suara (administrative electoral corruption).
Dalam konteks pemilihan langsung, praktik beli suara hampir tidak efektif, karena skalanya yang amat luas, sehingga pembelian suara dalam jumlah besar tidak akan menjamin adanya loyalitas pemilih yang dibeli. Berbeda tentunya dengan politik uang di Parlemen dengan jumlah pemilih yang kecil dan relatif homogen akan lebih aman, mudah, dan murah.
Namun, bebas dari satu mode korupsi tidak otomatis akan bebas pada mode korupsi yang lain. Dalam Pilpres dan terutama Pilkada, dengan adanya kebijakan yang menggariskan bahwa satu-satunya pintu untuk pencalonan kepala daerah hanya melalui partai politik dan gabungan partai politik yang menguasai 15 persen dari jumlah kursi di DPRD atau 15 persen dari akumulasi jumlah suara pemilu legislatif, maka sangat dikhawatirkan akan terjadi korupsi pembelian kandidat (candidacy buying).
Modus operandinya bisa jadi parpol atau gabungan parpol yang memenuhi syarat akan mendekati calon yang berkantong tebal lalu menjual tiket kewenangannya pada sang calon, tentu saja disertai bandrol harga dan kontrak politik ekonomis tertentu. Atau seperti yang ditulis Teten, bisa juga parpol menggelar semacam tender terbuka untuk mencari calon, dan sudah dapat dipastikan bahwa tender akan di menangkan oleh the highest bidder (penawar tertinggi).
Praktik semacam itu semakin dimungkinkan karena dua hal, pertama, tidak adanya ketentuan yang jelas dan tegas dalam undang-undang mengenai pelarangan politik uang dalam seleksi pencalonan kandidat. Kedua, menurut Todung , di hadapkan pada persoalan parpol di indonesia yang belum bisa mandiri secara finansial dengan mengandalkan iuran dari anggotanya. Berbeda dengan parpol di luar negeri yang relatif cukup seattle dari iuran angotanya. Kondisi tersebut membuat partai-partai di indonesia tergerak untuk mencari sumber pendanaan dari luar yang rawan terhadap terjadinya praktek korupsi.
Dalam kenyataan di lapangan, kekhawatiran di atas menemui bentuk nyata, seperti yang disuarakan oleh I Wayan Sudirta, salah satu anggota DPD RI bahwa ia mendengar calon yang mendaftar untuk mencalonkan diri di pilkada lewat partai sudah dimintai uang muka Rp 800 juta, kalau jadi kepala daerah ditambah Rp 1, 2 miliar. Salah satu sebabnya menurut I Wayan adalah karena kelemahan UU No. 32 tahun 2004 yang hanya mengakui parpol sebagai satu-satunya pemegang tiket di pilkada. Sehingga parpol dapat memeras calon kepala daerah agar bisa diloloskan dalam proses pencalonan.
Dengan demikian, dari perspektif anti korupsi, konsepsi pemilihan langsung masih belum sepenuhnya tepat sasaran. Sebab didalamnya masih ada rumusan yang memungkinkan terjadinya praktik candidacy buying. Untuk mengeliminasi praktik tersebut, selain harus ada ketentuan yang ketat mengenai pelarangan politik uang dalam proses pencalonan, juga harus ada kebijakan baru yang memungkinkan calon untuk dapat maju secara perorangan tanpa harus membeli tiket pada parpol, yaitu menyokong tampilnya calon independen.
2. Membebaskan Calon Terpilih dari Jerat Konsesi Parpol.
Salah satu kelebihan pemilihan langsung adalah kandidat terpilih tidak perlu terikat pada konsesi parpol atau faksi-faksi politik yang memilihnya. Ini diperlukan agar kandidat terpilih dapat berdiri diatas setiap kepentingan dan mampu menjembatani berbagai kepentingan tersebut. Dalam konteks pilpres misalnya, Apabila Presiden terpilih tidak dapat mengatasi kepentingan-kepentingan parpol, maka kabinet yang dibentuk cenderung merupakan kabinet koalisi parpol dan bukan kabinet kerja. Padahal pada masa krisis ekonomi seperti sekarang ini, yang kita perlukan adalah kabinet kerja. Sementara pada konteks pilkada, apabila kepala daerah terpilih tidak mampu keluar dari bayang-bayang konsesi politik parpol, maka sulit baginya untuk bekerja secara otonom. Hal ini kemudian akan berpengaruh terhadap netralitas kebijakan yang akan digulirkannya.
Sarat otonomi kekuasaan eksekutif tersebut bila dikaitkan dengan kebutuhan sistem pemerintahan presidensial juga relevan, karena akan menciptakan cheks and balances antara eksekutif dan parlemen. Sebab memang dalam sistem presidensiil, kekuasaan antara eksekutif dan parlemen berada dalam posisi seimbang/sejajar.
Namun, sesungguhnya untuk mewujudkan kemandirian eksekutif dan bebas dari konsesi parpol, sebenarnya tidak cukup hanya dengan pemilihan langsung, tetapi lebih dari itu proses kontestasi kandidat dari awal juga harus di-drive agar kandidat tidak harus memakai parpol sebagai kendaraan politiknya. Sebab walaupun dipilih secara langsung, tetapi proses pencalonan masih wajib dan mutlak melalui parpol, maka sang calon tetap akan merasa berhutang politik terhadap parpol sebagai kendaraan yang mengusungnya.
Contoh paling mutakhir adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memenangkan kontestasi pilpres langsung kemarin. Ketika ia dipilih langsung oleh rakyat, mestinya ia percaya diri dan tidak perlu mendasarkan kabinetnya dengan memasang banyak kaki partai didalamnya. Sebab yang berjasa menaikkan dirinya menjadi Presiden adalah suara rakyat, bukan suara partai. Hal itu juga sejalan dengan bangunan sistem pemerintahan presidensil yang dicirikan dengan kuatnya legitimasi dan wewenang Presiden untuk merancang komposisi pemerintahan. Tetapi SBY tidak mampu menempatkan diri pada posisi itu karena dia berangkat dengan kendaraan gabungan partai, sehingga ia tidak mampu melepaskan dirinya dari berondongan tuntutan kekuasaan pragmatis partai yang membopongnya. Fenomena ini sekaligus menunjukkan sebuah bentuk paradoks demokrasi di Indonesia.
Dalam pilkada juga berpotensi demikian, dengan adanya ketentuan dalam UU No 32 Tahun 2004 pasal 56 ayat (2) dan pasal 59 ayat (1) bahwa satu-satunya pintu pencalonan adalah parpol atau gabungan parpol yang menguasai 15 persen dari jumlah kursi di DPRD atau 15 persen dari akumulasi suara pemilu legislatif. Maka mustahil sistem ini akan membebaskan kepala daerah terpilih untuk dapat berdiri otonom. Apalagi dengan threshold 15 persen maka akan semakin banyak parpol yang di butuhkan sebagai kendaraan politiknya. Konsekuensinya akan memposisikan presiden dan kepala daerah seperti di kerubung atau dikeroyok oleh kepentingan banyak parpol yang mengusungnya atas nama balas jasa.
Berangkat dari analisis itu, maka dapat dipastikan bahwa kehadiran calon independen menjadi kontekstual dan relevan untuk menciptakan kemandirian eksekutif (baik presiden maupun kepala daerah) agar dapat berdiri di atas semua kepentingan. Sekaligus untuk mengeliminasi paradoks demokrasi di Indonesia yang makin mewujud.
3. Sebagai Substitusi Kekecewaan Rakyat Terhadap Calon Pilihan Parpol.
Reformasi yang menyeruak di penghujung mei 1998 dan ditandai dengan tumbangnya Soeharto dari kursi kekuasaan, awalnya disambut rakyat dengan suka cita dan gegap gempita. Rakyat menganggap bahwa inilah momentum untuk keluar dari ‘neraka’ krisis yang tak henti-henti menderanya. Mereka pun menggantungkan ekspektasi bahwa pemerintah pasca Soeharto akan mampu memberikan insentif dalam mewujudkan impiannya tersebut. Salah satu bentuk ekspektasinya ditunjukkan dengan ledakan partisipasinya dalam pemilu 1999 yang mencapai 90 persen angka partisipasi. Bahkan Arief Budiman, yang dikenal sebagai pencetus golput dalam pemilu 1971, ternyata pada pemilu 1999 dilaporkan menggunakan hak pilihnya karena dia memiliki harapan akan terjadi perubahan mendasar.
Namun, ekspektasi akan terjadinya perubahan mendasar pasca pemilu 1999 tak kunjung terjadi, alih-alih memperjuangkan kepentingan rakyat, wakil-wakil rakyat yang notabenenya berasal dari parpol justru ‘mabok’ dengan kepentingannya sendiri. Sementara kemiskinan, ketidakadilan, kenaikan harga, konflik horizontal, ketidakamanan dan rasa takut ancaman kejahatan, dan lain-lain yang dialami rakyat seolah luput dari perhatian.
Faktor tersebut menancapkan kekecewaan tersendiri bagi rakyat terhadap elit-elit parpol. Akibatnya, pada pemilu 2004 sebagai pemilu kedua pasca reformasi, angka partisipasi rakyat/pemilih mengalami penurunan menjadi 84 persen, Penurunan angka partisipasi tersebut kemudian terus meluas dalam Pilpres, dimana pada pemilihan Presiden putaran pertama tercatat angka 78 persen partisipasi pemilih dan menurun lagi dalam pilpres putaran kedua yang hanya menyentuh 75 persen.
Tidak berhenti sampai di pilpres, angka penurunan partisipasi pemilih terus anjlok sampai ke pilkada. Buktinya dalam pilkada kabupaten/kota ditemukan fakta politik bahwa jumlah ‘golput’ lebih besar prosentasenya dibandingkan dengan prosentase perolehan suara pasangan pemenangnya. Di sejumlah daerah, pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya alias golput mencapai angka 30 persen. Bahkan Di daerah lain ada yang mendekati 50 persen. Di Surabaya, misalnya, golput mencapai 48,32 persen atau 934.794 pemilih. Jumlah ini hampir dua kali lipat pemilih Pasangan Bambang DH – Arief Affandi, pemenang pemilihan dengan 492.999 pemilih. Sementara dalam Pilkada Kota Yogyakarta yang sempat tertunda selama empat bulan akibat calon tunggal, jumlah pemilih hanya menyentuh angka 52,..persen. dari 358.000-an pemilih.
Menurunnya angka partisipasi rakyat tersebut bila tidak diantisipasi akan terus meluas seiring dengan kekecewaan mereka terhadap elit. Akibatnya, pemilu secara substantif akan cacat secara demokratis, karena tidak disertai partisipasi mayoritas rakyat. Dalam kondisi seperti itu, Menurut Olle Tornquist, maka yang akan terjadi dalam demokrasi di Indonesia adalah munculnya hantu ‘demokrasi kaum penjahat’.
Untuk menjawab persoalan di atas, maka kemunculan calon independen bisa menjadi ‘obat’ alternatif. Kehadirannya dalam konteks ini setidaknya memiliki tiga arti penting, pertama, sebagai substitusi kekecewaan rakyat terhadap ketidakbecusan calon-calon yang di usung oleh parpol, sekaligus sebagai katup pengaman dalam setiap proses demokrasi. Kedua, akan berkontribusi terhadap perluasan hak-hak konstitusional rakyat, baik dalam konteks right to vote maupun right to be candidate. Dalam konteks right to vote misalnya, adanya substitusi akan membuat rakyat/pemilih lebih memiliki banyak preferensi dan tidak lagi di “sandera” untuk memilih calon yang di plot oleh parpol. Sementara dalam konteks right to be candidate, rakyat akan dapat berkontestasi langsung secara perorangan tanpa harus ‘berselingkuh’ atau di paksa ‘kawin’ dengan parpol, sebab belum tentu rakyat/sang kandidat yang akan tampil memiliki kesamaan ideology, visi dan misi yang seirama dengan semua parpol yang ada.
Ketiga, sejalan dengan praktik berdemokrasi rakyat indonesia yang tercermin dalam praktik pemilihan kepala desa, dimana dalam setiap pemilihan kepala desa apabila calon/kandidatnya tunggal, maka disediakan “kotak kosong” sebagai lawan. “kotak kosong” tersebut merupakan simbol oposisi gaya desa. Bahkan dalam beberapa kasus menunjukkan bahwa masyarakat desa lebih memilih “kotak kosong”. Bayangkan kalau kreasi genius gaya desa ini dibawa ke tingkat yang lebih tinggi seperti pemilu legislatif, pilpres maupun pilkada, maka dalam situasi seperti sekarang, bisa jadi yang menang atau yang menjadi anggota DPR, Presiden, Gubernur, Bupati/walikota adalah “sang kotak kosong”. Dalam konteks kekinian, “kotak kosong” tersebut dapat di tafsirkan sebagai kandidat independen.
Dengan demikian, adanya substitusi tersebut, bisa jadi akan menyegarkan kembali semangat rakyat untuk berpartisipasi dan berkontestasi, sebab hak-hak konstitusional dan tradisi berdemokrasi mereka kini telah diakomodir. Pilpres dan pilkada pun akan menemukan kembali “wajah” demokratisnya.
4. Menghambat Laju Kelompok Oligarki Kapitalis Lama dan Melempangkan Jalan Reformasi.
Tumbuh suburnya kekuatan kapitalis domestik di Indonesia pada penghujung dekade 80-an hanya dapat dinarasikan dengan menghubungkannya pada peran negara yang sangat dominan dan sentralistik. Tidak saja dengan monopoli langsung atas akses sumber daya ekonomi tetapi juga posisinya yang sangat menentukan dalam pengaturan dan pengalokasiannya. Namun demikian, adalah keliru untuk membayangkan bahwa sistem pengaturan dan pengalokasian akses sumber daya ekonomi itu dilakukan melalui cara cara fair sebagaimana yang terjadi di dalam sistem ekonomi kapitalis liberal melainkan melalui jaringan patronase yang berpusat pada soeharto. Jaringan patronase ini sendiri melibatkan para anggota keluarga Soeharto, klik politik petinggi negara, dan segelintir kapitalis Tionghoa.
Sistem kapitalisme negara sendiri awalnya dibangun dengan mendominasi minyak, pertambangan dan sektor-sektor sumberdaya alam, infrastruktur, perbankan, dan perdagangan. Kapitalisme negara kemudian mencapai puncak selama tahun-tahun boom minyak 1978-1982, dimana koper-koper negara padat dengan petrodolar. Akan tetapi dalam perkembangannya, sistem kapitalisme negara terpecah juga oleh krisis anjloknya harga minyak pada tahun 1981-1982 dan sekali lagi pada tahun 1986. Krisis anjloknya harga minyak secara dramatis tersebut menggeser pilihan-pilihan bagi para pemain utama. Hal ini menjadi lampu kuning bagi muculnya kebutuhan untuk memobilisasi sumber-sumber dana investasi baru dari sektor swasta dengan membangun industri-industri ekspor dan membangun basis-basis pemasukan baru. bahkan dalam perkembangan selanjutnya krisis ini juga mengakibatkan lembaga donor internasional melakukan desakan kepada pemerintah untuk menjalankan paket deregulasi ekonomi.
Namun, deregulasi yang awalnya dimaksudkan untuk memupus praktik-praktik monopoli negara atas berbagai sumber daya ekonomi dalam rangka menumbuhkan sebuah perekonomian yang lebih berorientasi kepada pasar liberal gagal diwujudkan. Hal ini tidak lain karena para penikmat deregulasi adalah kaum oligarki. Bukannya meliberalkan pasar, yang terjadi justru melicinkan jalan bagi pemindahan monopoli negara atas akses sumberdaya ke tangan para oligarki. Pada titik inilah ‘penjarahan sistematis’ yang dilakukan kelompok oligarki atas berbagai akses sumberdaya produktif yang sebelumnya berada dibawah kendali negara dimulai.
Lebih dari sekedar menguasai akses ke berbagai sumberdaya ekonomi, kaum oligarki (dalam bahasa Vedi R Hadiz, kelompok ini disebut sebagai predator) juga berupaya melakukan penguasaan terhadap lembaga-lembaga politik sebagai instrumen untuk menjamin langgengnya dominasi mereka. Karena itu, sejak dekade 1980-an, Golkar yang sebelumnya partainya negara segera beralih sebagai kendaraan politik kaum oligarki. Mengingat bahwa partai ini kerap-kali memenangkan pemilu, maka tidaklah mengherankan kalau kaum oligarki ini juga memperoleh posisi di parlemen. Kondisi inilah yang terus bertahan selama sekitar satu dekade hingga akhirnya mengantarkan Indonesia terhempas badai krisis financial ditahun 1997 dan menyapu struktur bangunan ekonomi politik orde baru ditahun 1998 yang ditandai dengan terjungkalnya salah seorang diktator paling kuat didunia Soeharto dari kursi kekuasaannya.
Bersamaan dengan itulah, sejumlah analis baik dalam maupun luar negeri mulai melontarkan gagasan teori bahwa perjalanan Indonesia pasca soeharto pasca 1998 akan menempuh trayek mulus untuk mencapai format politik demokratis dan ekonomi liberal. Namun kenyataannya, meskipun struktur ekonomi-politik orde baru runtuh berkeping-keping, perubahan-perubahan yang terjadi hanyalah pada konteks, dan oleh karena itu, ia tidak mengubah basis material yang sesungguhnya. Sebab proses dominasi elit orde baru beserta kalangan oligarki tidak saja terhadap politik dan ekonomi, tetapi juga terhadap civil society pada dasarnya tetap berlangsung. Perbedaannya dengan masa lalu terletak pada cara melanggengkan dominasinya. Jika pada masa lalu dominasi dilakukan dengan menggunakan instrumen otoritas sentral negara, maka pada era pasca Soeharto dominasi dilakukan melalui berbagai partai politik, pemilu, parlemen, dan desentralisasi.
Bersandar dari kajian Verdi di atas, maka pilpres dan pilkada akan menjadi salah satu sasaran strategis bagi kaum oligarki kapitalis lama yang dibesarkan Orde Baru untuk mengkonsolidasikan kekuatan politik dan monopoli ekonominya dengan cara merebut jabatan puncak di eksekutif. Apalagi dengan kebijakan yang hanya mengakui parpol sebagai satu-satunya pemegang kunci pencalonan, maka dengan kekuatan finansial yang ia punya akan memudahkan kaum oligarki ini untuk memonopoli kontestasi pencalonan dengan membeli tiket pada parpol. dan pada akhirnya mereka jugalah yang akan tampil sebagai penguasa-penguasa terdepan di negeri ini. kalau hal ini terjadi, tentu jalan reformasi akan semakin terjal dan berliku sehingga mimpi untuk menciptakan demokrasi yang terkonsolidasi menjadi makin jauh panggang dari api.
Karena itu, untuk menghambat laju mereka dalam membangun kerajaan predatornya, sekaligus untuk melempangkan jalan reformasi, maka pilpres dan pilkada harus membuka pintu seluas-luasnya untuk kontestasi calon, termasuk pintu bagi calon independen, agar rakyat dari berbagai latar belakang dapat berkontestasi secara fair, adil dan demokratis. Dengan demikian, terbuka peluang lahirnya ‘nahkoda-nahkoda’ di daerah yang mampu menyelami bahasa dan kebutuhan rakyatnya.
5. Bercermin dari Pengalaman Pilpres, Pemilihan DPD, dan Pilkada yang Telah Berlangsung.
Pemilihan Presiden, Pemilihan Dewan Perwakilan Daerah dan Pilkada langsung yang telah digelar setidaknya dapat dijadikan referensi untuk penyelenggaran pilpres dan pilkada ke depan. Dalam konteks pilpres misalnya, sejak putaran pertama pemilihan presiden, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengungguli lawan-lawannya dengan selisih cukup besar, padahal ia hanya didukung oleh sejumlah partai kecil.
Pada putaran pertama SBY hanya didukung oleh Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang, dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia. Total perolehan suaranya kurang lebih hanya sekitar 10 persen. Jumlah ini jauh dibawah perolehan suara SBY, yakni 36 persen. Ia mengalahkan Megawati yang berkekuatan PDI Perjuangan (setidaknya 18 persen), dan Wiranto yang berkekuatan Partai Golkar dan PKB (setidaknya 32 persen). Di putaran kedua ia mengalahkan Megawati dengan perolehan suara 61 persen, padahal total pemilih partai yang resmi mendukung Megawati (PDIP, Partai Golkar, PPP, PDS, PDU, dan sejumlah partai kecil lainnya) diatas 50 persen.
Dalam Pemilu untuk DPD juga demikian, kalau memperhatikan latar belakang anggota DPD terpilih sekarang, hanya 6 orang dari 128 anggota DPD (sekitar 5 persen) yang berlatar belakang kental partai politik. Selebihnya adalah tokoh-tokoh yang relatif tidak mempunyai latar belakang aktif di partai politik. Mereka pengusaha, professional, intelektual, birokrat, atau tokoh Ormas.
Sementara dalam Pilkada yang telah dilangsungkan selama bulan juni 2005 juga menyodorkan fakta paradoksal bahwa tidak ada korelasi kuat antara dukungan rakyat pada partai dalam pemilu legislatif dan dalam pilkada. Partai-partai yang menang dalam pemilu legislatif banyak mengalami kekalahan telak dalam pilkada. Sedangkan partai kecil atau gabungan partai guram justru muncul dengan kemenangan meyakinkan. Persis seperti yang terjadi dalam pilpres.
Di Semarang misalnya, pasangan Sukawi Sutarip dan Mahfudz Ali yang unggul mutlak dengan perolehan suara di atas 73 persen, bukan dicalonkan oleh PDI Perjuangan atau Partai Golkar yang dalam Pemilu Legislatif 2004 menduduki peringkat teratas. Sebaliknya, pasangan calon yang diusung PDI Perjuangan justru jeblok dan menduduki urutan paling bawah. Demikian juga yang dicalonkan Partai Golkar, hanya mencapai peringkat ketiga dengan selisih perolehan suara yang sangat tajam. Hal serupa juga terjadi di beberapa daerah lain.
Demikian juga dengan Pilkada di Banyuwangi, pasangan Ratna Ayu Lestari dan Yusuf Noris yang notabenenya hanya didukung oleh 18 partai kecil (non parlemen), mengalahkan empat kandidat lain yang didukung partai besar seperti pasangan Akhmad Wahyudi – HM Eko Sukartono yang dicalonkan PKB, pasangan Masduki Suut – Syafii yang di sokong oleh koalisi PPP dan Partai Demokrat, pasangan Susanto Suwandi – Abdul Kadir dari partai Golkar, dan pasangan Ali Sahroni – Yusuf Widjiatmoko yang di dukung PDIP.
Kalaupun pada beberapa daerah yang dimenangkan oleh pasangan calon yang didukung parpol besar, dimungkinkan kemenangan itu bukan disebabkan karena bergeraknya mesin partai sebagai vote getter, tetapi lebih disebabkan oleh faktor popularitas sang calon, selain itu juga disebabkan faktor bahwa calon yang bersangkutan adalah calon incumbent (pejabat terdahulu). Berdasar catatan litbang Media Indonesia misalnya, dari 106 daerah (khususnya kabupaten/kota) yang pilkada-nya diikuti oleh calon incumbent, yang kalah hanya 30 daerah.
Bahkan pilkada di Provinsi Nagroe Aceh Darussalam, sebagai satu-satunya pilkada yang yang di ikuti calon independen, kontestasi pada akhirnya di menangkan oleh pasangan IrwandiYusuf dan…sebagai kandidat independen. Kenyataan di atas menunjukkan bahwa parpol dalam pemilihan langsung adalah tidak penting. Karena ia terbukti tidak mampu menjadi mesin politik yang strategis dan menentukan. Dalam pemilihan langsung, menurut Lance Castles . rakyat akan lebih berfokus pada sosok sang calon dan relatif lepas dari keterikatan organisasional seperti parpol.
Fakta tersebut juga menasbihkan bahwa masyarakat pemilih di Indonesia semakin otonom. Mereka bukan lagi obyek pasif yang mudah didikte dan dijajah pilihan politiknya oleh keputusan partai yang acapkali sentralistik, pragmatis dan mengabaikan aspirasi konstituennya. Sebaliknya, masyarakat justru lebih berperan sebagai subyek otonom dan rasional yang secara sadar mampu menentukan sendiri calon pemimpinnya.
Karena itu, ketika partai-partai telah gagal sebagai kendaraan kemenangan calon. maka patut dipikirkan untuk mengamandemen UUD 1945 pasal 6A ayat (2) beserta seluruh produk perundangan yang menghalangi tampilnya calon independen dalam panggung pilpres dan pilkada. Upaya ini bukan berorientasi untuk menggusur peran parpol atau dalam bahasa Ikrar Nusa Bakti adalah deparpolisasi, tetapi justru sebagai ikhtiar agar parpol memperoleh rival yang menyehatkan. Dengan demikian parpol akan memiliki spirit untuk berbenah, bukan untuk hancur seperti yang ditakutkan Ikrar.
7. Parpol Di Indonesia Bermasalah
Keberadaan partai politik adalah syarat bagi negara yang menggunakan sistem demokrasi. Indonesia yang bergerak menuju demokrasi juga membutuhkan parpol sebagai salah satu pilar penyangga demokrasi. Menurut Harun Alrasid misalnya (dengan mengutip Gustav Radbruch) berpendapat bahwa “ kekuasaan rakyat berarti kekuasaan partai politik. Menentang eksistensi partai berarti menentang demokrasi”. Senada dengan Alrasid, Ichlasul Amal dengan tegas mengatakan, “ partai politik merupakan keharusan dalam kehidupan politik yang modern dan demokratis ”
Namun parpol yang diharapkan mampu membawa jalan demokrasi di indonesia menjadi on the right track, gagal melakukan tugasnya dengan baik. Berikut sedikit catatan tentang potret buram wajah parpol di indonesia (sekedar menunjuk beberapa saja) yang dapat dikaitkan dengan relevan tidaknya kebijakan yang menggariskan parpol sebagai satu-satunya pintu pencalonan pilkada:
a. Parpol tidak memiliki kontribusi dalam setiap sejarah perubahan besar di Indonesia.
Sejarah revolusi dan perubahan besar dalam republik ini sesungguhnya lahir tanpa kontribusi parpol didalamnya. Dimulai dari Sumpah pemuda 28 oktober 1928 yang merupakan tonggak kedua pendirian NKRI tidak ditemukan peran parpol. Sumpah pemuda lahir setelah diawali inisiatif beberapa pemuda revolusioner seperti Moh. Yamin, Suyoto Hadinoto, J.Leimina, Rohyani, W.R. Soepratman, Adnan K.Gani dan lainnya untuk mengadakan Kongres yang bertujuan untuk mempersatukan pemuda. Meskipun Belanda semula ingin mensabot kongres tersebut, namun cita-cita nasionalisme-lah yang menang. Maka pada tanggal 28 Oktober 1928 pukul 23.00 diwisma Indonesia, jalan Kramat 106, Jakarta dikumandangkan sumpah pemuda yakni; Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa: Indonesia. Ben Anderson menyebutkan, Sumpah pemuda itu sebagai revolusi pemuda tanpa parpol.
Parpol juga tidak menunjukkan keterlibatannya dalam proses menuju Indonesia merdeka. Proklamasi 17 Agustus 1945 lahir atas desakan para pemuda yang terus memaksa Soekarno dan Hatta untuk segera memproklamirkan kemerdekaan setelah jepang luluh lantak atas serangan bom atom pasukan sekutu yang akhirnya membuat jepang menyerah.
Begitu juga saat tumbangnya orde lama ditahun 1966 yang didahului beberapa peristiwa, seperti pembunuhan tujuh jenderal AD pada 30 september 1965 , hiper inflasi yang mencapai 650 persen di tahun 1966. membuat mahasiswa yang didukung militer berdemonstrasi besar-besaran, sampai berujung pada tumbangnya orde lama sekaligus menjadi awal kelahiran orde baru. Di sini juga tidak terlalu terlihat peran parpol.
Sampai pada reformasi 1998 juga lahir tanpa kontribusi parpol, reformasi lahir dari massifnya gerakan mahasiswa, kekuatan pro demokrasi dan dari banyak tokoh-tokoh non parpol. Alih-alih memberikan kontribusi dalam sejarah reformasi, yang terjadi justru parpol dalam sejarah otoritarianisme orde baru melalui wakil-wakilnya di parlemen malah ikut menjadi rubber stamp dalam menunjang kekuasaan rezim predator tersebut.
Ironisnya sesudah Orde Baru tumbang, parpol mengambil keuntungan dengan mengambil alih kendali kekuasaan lewat tangan-tangannya di parlemen dengan meninggalkan mahasiswa, kekuatan prodemokrasi, bahkan juga meninggalkan rakyat. Parpol kemudian memproduk undang-undang yang dibuatnya sebagai instrumen pembenar kekuasaannya. Salah satu buktinya adalah dengan Undang-Undang monopolinya untuk pengajuan calon dalam Pilpres dan pilkada. Atas fenomena tersebut, Riswandha Imawan menyatakan keberangannya, dengan menulis bahwa parpol selalu menjadi free-rider (penumpang gelap) dari setiap perubahan-perubahan penting dalam sejarah politik di Indonesia. Tiap peristiwa politik yang menentukan nasib bangsa ini tidak pernah melibatkan parpol. Mulai Proklamasi 17 Agustus 1945, berdirinya Orde Baru, maupun kejatuhan Soeharto 1998. Bahkan, parpol hadir "karena undangan" pemerintah. Mulai pengisian Volksraad 1918, Maklumat Pemerintah 1945, sampai ke Maklumat Habibie 1999.
Memang, tidak progresifnya peran partai dapat juga dikaitkan karena partai dalam sejarah politik di Indonesia beberapa kali dipinggirkan oleh dominasi kekuasaan, ditahun 1960 misalnya, Masyumi dan PSI sebagai partai yang berpengaruh saat itu dibubarkan Soekarno karena tokoh-tokohnya dianggap terlibat pemberontakan. Sementara pada tahun 1973, tidak lama setelah Golkar memenangkan Pemilu 1971, Soeharto memaksa partai-partai yang ada untuk berfusi menjadi dua partai baru, yaitu Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Demokrasi Indonesia. Bahkan di bulan juli 1996 Soeharto juga merusak PDI dengan menggusur Megawati Soekarno Putri dari kepemimpinan PDI yang berakibat munculnya kerusuhan.
Namun, ketika peranannya dipinggirkan, mestinya parpol dapat mengambil inisiatif untuk melakukan perubahan besar. Belajar dari mahasiswa dan kekuatan pro demokrasi misalnya, ketika mereka di depolitisasi melalui kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus pada tahun 1978 dan penyeragaman asas tunggal tahun 1982 , mahasiswa dan kekuatan pro demokrasi tidak tertidur, tapi justru terus melawan dan merongrong kursi kepresidenan Soeharto, sampai akhirnya lahir reformasi 1998 yang ditandai dengan tumbangnya penguasa totaliter tersebut.
Berangkat dari argumentasi sejarah kritis diatas, maka memberikan previllege pada parpol, termasuk pemberian kewenangan tunggalnya dalam pencalonan pilkada adalah kebijakan yang berlebihan dan a-historis. Karena kenyataannya parpol tidak memiliki sumbangan berarti dalam setiap sejarah perubahan besar di indonesia.
b. Parpol Tidak Serius Menggarap Kaderisasi.
Kaderisasi adalah urat nadi bagi sebuah organisasi termasuk partai politik. Kaderisasi merupakan proses penyiapan SDM agar kelak mereka menjadi para pemimpin yang mampu membangun peran dan fungsi organisasi secara lebih optimal. Mengutip pendapat George Sarton;
“Sebab hakiki dalam setiap kemunduran adalah urusan dalam, bukan urusan luar. Jika secara kebetulan kita menyaksikan sebatang pohon tumbang lantaran amukan taufan, maka seharusnya janganlah kita mengutuk taufan itu atas penumbangannya terhadap pohon tersebut. Semestinya ditujukan pada pohon itu sendiri, karena kebusukan bagian dalamnya”
Pendapat tersebut secara tersirat memberikan pressing betapa pentingnya pembenahan internal yang salah satu bentuknya adalah kaderisasi/pengkaderan. Secara formal misalnya, kaderisasi dapat dijalankan dengan menggunakan mediasi seperti event-event Trainning maupun pelatihan berjenjang, sedangkan secara informal adalah dengan teladan yang mesti ditunjukkan para senior partai.
Sayangnya, kaderisasi dalam parpol menjadi masalah yang tidak pernah disentuh dan digarap serius, yang terlihat partai hanya sibuk memproduksi milisi-milisi seperti satgas dll yang cenderung militeristik dan justru dianggapnya sebagai bagian penting dari pengkaderan.
Pada ranah informal menjadi semakin memprihatinkan, alih-alih memberi teladan buat kadernya, para petinggi dan senior partai justru menyuguhkan black education, ini ditunjukkan oleh mereka yang ada di DPR RI misalnya, yang oleh Cetro disebut Dewan Tuna Nurani , karena ditengah kondisi masyarakat yang di impit beban ekonomi, mereka malah menuntut kenaikan gaji. Sedangkan para senior partai yang ada di DPRD tidak kalah parah, dengan banyaknya jumlah anggota dewan yang terancam kena bui karena kasus korupsi. Bahkan fenomena itu dialami hampir seluruh DPRD di Indonesia yang notabenenya adalah orang-orang partai.
Dengan kondisi semacam itu, dimana kaderisasi tidak mampu digarap secara serius oleh parpol, maka mengharap parpol akan menjadi rahim yang akan memproduksi lahirnya calon-calon pemimpin bangsa atau calon pemimpin daerah untuk meneruskan jalan terjal demokrasi menjadi mustahil. Kalaupun ada, maka kader yang akan lahir tidak lebih dari kader-kader karbitan, seperti yang selama ini menjadi sasaran kritikan publik.
Dengan demikian, dalam konteks pencalonan pilpres dan pilkada, ketika parpol tidak mampu melahirkan kader-kader terbaik dan karenanya miskin stok kader, maka ketentuan untuk menunjuk parpol sebagai satu-satunya pemegang tiket dalam kontestasi calon menjadi tidak relevan.
Simpulan
Berangkat dari ‘wisata’ analisa di atas dapat ditarik konklusi, bahwa kehadiran calon independen dalam pilpres dan pilkada memiliki arti penting sebagai ‘malaikat’ penyelamat atas proses demokrasi yang masih hampa dari daulat rakyat. Keberadaanya juga bukan diorientasikan untuk ‘menghancurkan’ parpol yang memang selama ini panen kritik, tapi justru sebagai upaya untuk membuat parpol berkaca dan selanjutnya ‘bertobat’ untuk kembali pada tanggungjawab sucinya sebagai jembatan antara kepentingan rakyat dan Negara. Bahkan kehadiran calon independen seperti di ungkap di muka juga berkontribusi pada komitmen pemberantasan korupsi yang kini di pancangkan oleh rejim SBY. Karena itu kalau bangsa ini serius menjadikan pilpres dan pilkada sebagai momentum untuk mengentaskan bangsa dari era transisi tiada ujung menuju demokrasi terkonsolidasi, maka agenda untuk mengamandemen UUD 1945 menjadi penting dalam konteks ini, terutama pasal 6A ayat (2) yang hanya mengakui parpol sebagai kendaraan untuk kontestasi pilpres dan pasal 18 yang perlu menegaskan kehadiran calon independen dalam pentas pilkada.
Daftar Pustaka
Amal, Ichlasul (ed), 1996. Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Bandoro,Bantarto dkk. (penyunting). 1995. Refleksi Setengah Abad Kemerdekaan Indonesia, Jakarta: CSIS.
Castles,Lance 2004. “Pemilu 2004 dalam Konteks Komparatif dan Historis”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
C.S.T. Kansil dan Julianto,1987. Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Dhakidae, Daniel. 2003, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, Jakarta: Gramedia Pustaka.
Hadiz, Verdi R, 2005. Dinamika Kekuasaan Ekonomi Politik Indonesia Pasca Soeharto. Jakarta: LP3ES
Ismanto, Ign (dkk), 2004. Pemilihan Presiden Secara Langsung 2004, Dokumntasi, Analisis dan Kritik. Jakarta: Kerjasama Kementrian Riset dan Teknologi dan Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS
J. Linz, Juan, 2001, Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat, Belajar dari Kekeliruan Negara-Negara Lain. Bandung, Mizan
Karim,Rusli 1993. Perjalanan Partai Politik Di Indonesia; Sebuah Potret Pasang Surut, Jakarta: Rajawali Pers,
Khoiruddin.2004. Partai politik dan Agenda Transisi Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Liddle, R.William,1992. Partisipasi dan Partai Politik Indonesia Pada Awal Orde Baru. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Lipjhart, Arendj, 1995. Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Sarton, George. 1977. The Incubation of Western Culture In The Middle East, di Indonesiakan oleh Moh. Ridwan Assagaf. Surabaya: Pustaka Progessif.
Sastrotomo, Soebadio, 1987. Perjuangan Revolusi, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Syahrir, 1986. Ekonomi Politik Kebutuhan Pokok, Sebuah Tinjauan Prospektif, Jakarta: LP3ES
Syaidam, Gouzali (ed).1999.Dari Bilik Suara Ke Masa Depan Indonesia, Potret Konflik politik Paca Pemilu Dan Nasib Reformasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Artikel dan Data Elektronik :
Harun Alrasid, “Jabatan Presiden Republik Indonesia” , Dies rede pada Sidang Senat Terbuka Dies Natalis ke 56 Universitas Islam Indonesia, 8 November 1999.
Riswandha Imawan “Dikelilingi Serigala Politik” , Jawa Pos, 2 Januari 2006
Saiful Mujani, “Pilkada, Kekuatan Partai dan Signifikasi Calon” , Media Indonesia Online, 09 Desember 2005.Pukul 12.24. WIB
Smita Notosusanto, “Usulan Pemilihan Presiden Langsung”, www.cetro.or.id , 20 Agustus 2001, Pukul 21.33 WIB.
Tim Akbar Tandjung Institute; Ibrahim Ambong, M. Alfan Alfian, M.Agustin Prasetya, Puji Wahono, dan A.Doli Kurnia dalam “Evaluasi dan Peran Partai Politik”,AT Institute Online, 03 Februari 2006. Pukul 20.21 WIB
Suara Merdeka Online,29 Juni 2005, Pukul 17.10. WIB
Election Guide – IFES website, www ifes.org/eguide/turnout2004.htm
Press Release Cetro, Walhi, ICW, TI-I, PSHK,PERLUDEM,FORMAPPI,15 November 2005, dalam www.cetro.or.id. pukul 12.35.WIB.
Suara Pembaruan, 10 Desember 2004
Kompas, 5 Agustus 2002.
Kompas, 11 Februari 2005.
Kompas, 6 September 2005
Kompas 26 Desember 2005
Jawa Pos, 12 Agustus 2005.
Label: dan demokrasi, Hukum, wacana politik
Setiap Langkah adalah Dunia Baru
Seorang professor diundang untuk berbicara disebuah basis militer. Disana ia berjumpa dengan seorang prajurit yang tak mungkin akan dilupakannya, bernama harry. Harry-lah yang dikirim untuk menjemput Professor di bandara.
Setelah saling memperkenalkan diri, mereka menuju tempat pengambilan kopor. Ketika berjalan keluar, harry sering menghilang. Ternyata banyak hal yang dapat dilakukannya. Ia membantu seorang wanita tua yang kopornya jatuh. Kemudian mengangkat seorang anak kecil agar dapat melihat pemandangan.ia juga menolong orang yang tersesat dengan menunjukkan arah yang benar. Tiap kali ia selesai ia kembali ke sisi professor itu dengan tersenyum lebar menghiasi wajahnya.
“ Dari mana anda mempelajari hal-hal seperti itu?” Tanya sang professor.
“oh” kata harry.. “selama perang saya kira.” Ia lalu menuturkan kisah perjalanan tugasnya di Vietnam. Juga tentang tugasnya saat membersihkan ladang ranjau, dan bagaimana ia harus menyaksikan bagaimana satu persatu temannya tewas terkena ledakan ranjau didepan matanya.
“Saya belajar untuk hidup diantara pijakan setiap langkah.”, katanya. “ saya tak pernah tahu apakah langkah berikutnya merupakan pijakan terakhir, sehingga saya belajar untuk melakukan segala sesuatu yang sanggup saya lakukan tatkala mengangkat dan memijakkan kaki. Setiap langkah yang saya ayunkan merupakan sebuah dunia baru. Dan saya kira sejak saat itulah saya menjalani kehidupan seperti ini.”
Memang, kelimpahan hidup hidup tidak ditentukan seberapa lama kita hidup. Melainkan sejauh mana kita menjalani kehidupan yang berkualitas.
“oh” kata harry.. “selama perang saya kira.” Ia lalu menuturkan kisah perjalanan tugasnya di Vietnam. Juga tentang tugasnya saat membersihkan ladang ranjau, dan bagaimana ia harus menyaksikan bagaimana satu persatu temannya tewas terkena ledakan ranjau didepan matanya.
“Saya belajar untuk hidup diantara pijakan setiap langkah.”, katanya. “ saya tak pernah tahu apakah langkah berikutnya merupakan pijakan terakhir, sehingga saya belajar untuk melakukan segala sesuatu yang sanggup saya lakukan tatkala mengangkat dan memijakkan kaki. Setiap langkah yang saya ayunkan merupakan sebuah dunia baru. Dan saya kira sejak saat itulah saya menjalani kehidupan seperti ini.”
Memang, kelimpahan hidup hidup tidak ditentukan seberapa lama kita hidup. Melainkan sejauh mana kita menjalani kehidupan yang berkualitas.
Label: kata hikmah, kisah bijak, mutiara kisah
Kekuatan Harapan
Dahulu kala, ada seorang pengusaha yang sangat terkenal di sebuah kota. Ketika sang suami jatuh sakit, satu-persatu pabrik mereka dijual. Harta mereka terkuras untuk berbagai biaya pengobatan. Hingga ia harus berpindah ke pinggiran kota dan membuka rumah makan sederhana.
Sang suami pun telah tiada. Beberapa tahun kemudian. Rumah makan itupun harus berganti rupa menjadi sebuah warung makan kecil disebelah pasar. Setelah lama tak terdengar kabarnya, kini setiap malam tampak sang istri dibantu oleh anak dan menantunya menggelar tikar berjualan lesehan dialun-alun kota. Cucunya sudah beberapa. Orang-oarang-pun masih mengenal masa lalunya yang berkelimpahan. Namun ia tak kehilangan senyumnya yang tegar saat ia melayani para pembeli.
Dahulu kala, ada seorang pengusaha yang sangat terkenal di sebuah kota. Ketika sang suami jatuh sakit, satu-persatu pabrik mereka dijual. Harta mereka terkuras untuk berbagai biaya pengobatan. Hingga ia harus berpindah ke pinggiran kota dan membuka rumah makan sederhana.
Sang suami pun telah tiada. Beberapa tahun kemudian. Rumah makan itupun harus berganti rupa menjadi sebuah warung makan kecil disebelah pasar. Setelah lama tak terdengar kabarnya, kini setiap malam tampak sang istri dibantu oleh anak dan menantunya menggelar tikar berjualan lesehan dialun-alun kota. Cucunya sudah beberapa. Orang-oarang-pun masih mengenal masa lalunya yang berkelimpahan. Namun ia tak kehilangan senyumnya yang tegar saat ia melayani para pembeli.
Wahai ibu, bagaimana engkau sedemikian kuat?
“ Harapan, nak. Jangan pernah kehilangan harapan. Bukankah seorang guru dunia pernah belajar, karena harapanlah seorang ibu menyusui anaknya. Karena harapanlah kita menanam pohon meski kita tak tahu akan sempat memetik buahnya yang ranum setelah bertahun-tahun kemudian.”
“ Nak. Sekali engkau kehilangan harapan, kau akan kehilangan seluruh kekuatanmu menghadapi dunia”.
“ Harapan, nak. Jangan pernah kehilangan harapan. Bukankah seorang guru dunia pernah belajar, karena harapanlah seorang ibu menyusui anaknya. Karena harapanlah kita menanam pohon meski kita tak tahu akan sempat memetik buahnya yang ranum setelah bertahun-tahun kemudian.”
“ Nak. Sekali engkau kehilangan harapan, kau akan kehilangan seluruh kekuatanmu menghadapi dunia”.
Label: kisah bijak, Kontemplasi, mutiara hikmah
Langganan:
Postingan (Atom)